“Terkadang aku rindu ketika kami masih kanak-kanak. Dunia hanya seperti permainan, perebutan hal-hal kecil. Lalu kami akan tertawa saling mengejek.”
Aku menunduk, menemani sekaligus mendengarkan ucapan Hephaestion. Dalam hati aku ingin tahu apa yang dia tulis, tetapi tiada keberanian untuk mengintip. Dari apa yang dia katakan, sekolah terdengar seperti dunia paling menyenangkan untuk anak-anak.
Sayang sekali, tak pernah ada kesempatan untuk para perempuan untuk bersekolah. Aturan yang sama berlaku juga untuk anak yang lahir dari keluarga istana. Para orang tua selalu berkata, sekolah bukanlah untuk perempuan. Perempuan tidak perlu belajar berhitung dan membaca.
Terkadang, aku masih berpikir semestinya mengucapkan terima kasih pada Ares. Tak dapat kumungkiri bahwa dia adalah satu-satunya guru. Bila Ares enggan mengajariku membaca, mustahil aku bisa mengenal huruf dan angka.
Ares sendiri belajar langsung dari ayahnya yang berasal dari keturunan bangsawan.
Tanpa terasa, air mataku mengalir. Mengingat Ares sungguh menghangatkan hati, tetapi di waktu yang sama mengoyak luka yang belum sepenuhnya mengering. Perih, aku telah percaya padanya. Namun, Ares justru ….
“Demeter.” Hephaestion mengejutkanku. “Kau termenung lagi.”
Dia berucap, tetapi matanya masih menatap kulit hewan kering di meja. Sudah cukup lama, aku berdiri menemani dia menulis. Sepertinya kami akan ke tempat peristirahatan lebih siang dari dugaanku. Atau justru Hephaestion lupa pada janjinya semalam.
“Aku terkadang malas menulis. Andai ada orang yang bisa menggantikanku.”
“Bukankah sebuah surat adalah sesuatu yang rahasia? Bagaimana mungkin pekerjaan untuk menulisnya bisa digantikan oleh orang lain?” Aku mencoba menanggapi, takut jikalau Hephaestion marah karena merasa diabaikan.
“Ini surat pemberitahuan umum untuk wilayah-wilayah yang tunduk pada Macedonia. Semua orang akan mengetahui isinya, karena begitu surat ini tiba pasti akan diberitakan ke segala penjuru. Kau pasti pernah mendengar tentang pajak.”
Kuanggukan kepala sebagai jawaban.
Hening, tak lama kemudian terdengar Hephaestion mengembuskan napas kasar dan panjang. Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Satu-satunya gagasan adalah bertanya, apakah dia membutuhkan sesuatu, dan dia berkata tidak.
Hanya tersisa sunyi selama dia melanjutkan pekerjaannya menulis pengumuman pungutan pajak. Aku tidak yakin pemikiranku benar, tetapi aku juga enggan mengajukan tanya.
Setengah atau bahkan lebih dari separuh isi kepalaku memikirkan Ares. Apa yang terjadi padanya, apa yang telah dilakukannya sampai dia dihukum. Sulit bagiku untuk memercayai bahwa Hephaestion menguji nyawa Ares hanya untuk menepati janjinya padaku.
Tiba-tiba, Hephaestion meletakkan pena bulunya, lalu mengangsurkan kulit hewan itu padaku. Seperti biasa, aku akan menaruhnya di meja lain untuk menunggu kering. Setelah kering, surat itu digulung dan diserahkan pada prajurit.
Sesaat setelah kuterima selembar surat yang basah, Hephaestion mengambil kulit kering lain yang masih kosong. Tampaknya, dia sungguh bosan dan tidak bersemangat. Aku ingin membantu, tetapi takut mengaku. Bagaimana bila aku justru dianggap tidak sopan, dan kurang ajar. Tidak! Tidak! Lebih baik aku tetap diam.
Aku berbalik, mengusir jauh-jauh gagasan untuk membantu pekerjaan Hephaestion. Namun, aku pun tidak sabar menunggunya terus menerus. Andai aku tahu menunggu begitu semenyesakkan, aku akan memilih untuk pergi sendiri ke tempat peristirahatan pasukan. Seperti yang Hephaestion perintahkan sebelumnya.
Sungguh benar adanya, mengambil keputusan dengan terburu-buru bisa mendatangkan masalah yang lain. Betapa bodohnya aku.