The Storyteller, Macedonia

Yayuk Yuke Neza
Chapter #7

Enam

Dalam hati, aku sungguh takut dia akan memintaku. Jangan sampai Ptolemy tertarik padaku. Lain waktu, sebisa mungkin aku harus menjauh dari tatapannya.

“Ada apa, sampai kau menjemputku?” Hephaestion bertanya, setelah hening merambati sekeliling kami bertiga.

Ptolemy tertawa kecil lalu menaikkan tangan kirinya ke bahu Hephaestion, merangkul kemudian berjalan beriringan. Aku mengikuti langkah keduanya dari belakang dengan jarak dua tapak.

Dua laki-laki itu membicarakan sesuatu dengan berbisik, aku tidak bisa mendengar sama sekali. Andai diperbolehkan, aku akan dengan senang hati kembali ke kamarku, atau berlari pergi untuk menemui Ares.

Tiba-tiba, ada rasa yang begitu kuat menuntutku untuk segera ke sana. Ares, apakah dia masih hidup seperti yang Hephaestion katakan semalam ataukah ….

“Demeter,” Hephaestion mengempaskan anganku, “duduklah bersama yang lain. Aku akan menyelesaikan urusanku.”

Tanpa sadar, kami sudah tiba di balairung. Ramai sekali. Kulihat, beberapa orang memeluk Hephaestion. Mereka saling sapa dengan berpelukan ringan, baik laki-laki atau perempuan. Tak peduli teman lama atau bahkan seseorang yang berpura-pura akrab.

Segera setelah Hephaestion mendekat, teman-temannya menawari minum. Para perempuan penghibur mulai menyentuh-nyentuh dada, lengan, dan punggung tuanku.

Aku mengalihkan pandangan ke sudut lain. Tak tahu mengapa, ada yang rasa nyeri di hati. Beberapa saat lalu, dia mengakuiku sebagai simpanannya. Lalu sekejap, dia tersenyum di antara perempuan di sana.

Bodoh. Seharusnya aku tidak merasa senang atas pengakuan Hephaestion. Itu bukan berarti apa-apa. Dia tidak pernah mengatakan secara pribadi.

Dadaku menjadi sesak, aku ingin menangis. Apa yang terjadi, mengapa aku begitu kecewa. Callia melambai dan mendekat, buru-buru aku tersenyum saat melihatnya.

“Demeter, mengapa kau berdiri di sana? Ayo, Jace menunggumu. Kami menunggumu semalaman. Kami pikir sesuatu terjadi padamu.” Callia meraih lenganku, menggandengku ke arah para pelayan berkumpul.

Salah satu dari mereka langsung menawariku minum. Aku menggeleng, tidak ingin pusing dan mabuk di siang hari. Lagi pula, aku tidak terbiasa minum. Aku akan dengan senang hati bila ditawari makan siang. Di antara mereka tak tampak Jace. Aku menoleh untuk menuntut jawaban dari Callia, di mana Jace?

“Demeter,” suara seseorang dari arah belakang, refleks aku dan Callia berbalik, “kau baik rupanya. Katakan dari mana kau, apa yang kau kerjakan?”

Aku bingung mengapa mereka masih bertanya. Bukankah seharusnya Callia melihatku datang bersama Hephaestion? Mestinya, aku tidak perlu menegaskan. Akan tetapi, keduanya tetap memandangku tajam untuk sebuah jawaban.

“Bersama Tuan.”

Jace dan Callia memekik, sampai beberapa perempuan memandang pada kami. Aku menenangkan mereka, meminta keduanya bersikap biasa. Apa yang istimewa dengan bersama Hephaestion dalam semalam? Aku yakin perempuan lain pun pernah melakukannya.

“Aku senang mendengarnya, sungguh. Mulai sekarang aku tidak akan cemas bila kau tidak kembali ke kamar.” Jace berbisik padaku, diikuti tawa kecilnya.

“Bersikap baiklah pada Tuan. Aku yakin, kau tahu caranya bersenang-senang. Kalau tidak, kau bisa bertanya padaku atau Callia.”

Mereka lagi-lagi tertawa. Aku memandang jauh ke arah lain, pada Hephaestion di sudut berlawanan. Dia tidak lagi bersama perempuan penghibur, tetapi duduk di sisi kanan Raja Alexander. Raja, pasukan pelindungnya, dan penasihat berkumpul mengitari meja persegi panjang penuh makanan. Apa pun yang mereka bicarakan, aku yakin ada hubungannya dengan pertempuran melawan Persia.

Dulu aku berpikir, di dalam istana selalu penuh rahasia. Aku bingung dari mana Jace dan Callia mendapat banyak kabar, rumor-rumor, dan mendengar hal-hal yang bersifat pemerintahan. Ternyata istana tidak benar-benar penuh rahasia, sebab semuanya dilakukan secara terbuka. Termasuk dengan perundingan bersama, para laki-laki yang berkuasa mengajak perempuan serta pelayan mereka.

Kebanyakan perempuan suka bergunjing, sehingga apa yang para pelayan dengar di balairung menjadi buah bibir dan terbawa angin ke segala penjuru istana.

Di sana, Hephaestion dan Alexander seperti membicarakan sesuatu yang penting. Keduanya sesekali mengangguk, lalu menanggapi antara satu dan yang lain. Tiba-tiba, Hephaestion bangkit dari kursi.

“Demeter,” Callia menepuk punggungku. “Makanlah, setelah itu kau harus membagi cerita pada kami.”

Lihat selengkapnya