The Storyteller, Macedonia

Yayuk Yuke Neza
Chapter #8

Tujuh

Alexander membuktikan janjinya. Dia benar-benar mengizinkanku belajar. Hephaestion bahkan membawakan bacaan untukku walaupun dengan persyaratan, aku hanya boleh membacanya di kamar Tuan.

Sering kali, Hephaestion memintaku menceritakan kembali apa yang telah kubaca. Katanya, Tuan ingin menguji, tetapi yang kudapatkan dia justru lebih sering memuji.

“Kau semakin mahir membaca, Demeter.”

Hephaestion menyanjungku ketika kuceritakan padanya tentang raja-raja Persia. Kumulai dari Cyrus The Great yang menjadi raja pertama Persia. Lalu kulanjutkan dengan anaknya, Raja Darius I.

“Maaf, Tuan, benarkah tulisan ini menyebutkan Raja Darius I menyerang Yunani pertama kali pada tahun …?” Aku berucap ragu-ragu sambil menunjukkan sederatan aksara yang mulai memudar.

“Benar.” Hephaestion mengatakan, dahulu polis–negara kotaterkuat dan terbesar di Yunani adalah Athena dan Sparta.

Kata Tuan, kedua polis itu terkenal dengan keunggulan masing-masing. Sparta keras. Tradisinya menakutkan dan senang menantang lawan. Sungguh berbeda dengan Athena yang sejak dulu diketahui memiliki cendekia-cendekia hebat dalam masyarakatnya. Athena yang paling maju dalam peradaban, meski tertinggal dari segi kekuatan perang.

Aku bahkan pernah mendengar olokan tentang laki-laki Athena yang gemulai. Akan tetapi, julukan itu tidak sepenuhnya benar. Athena pun kuat, merekalah yang berhasil mendesak mundur pasukan Persia yang dipimpin oleh Xerxes, putra Raja Darius I. Bahkan, pertempuran laut antara Persia dan Athena, dimenangkan oleh Athena sehingga sekali lagi Persia tidak berhasil menduduki daratan Yunani.

“Kau memiliki ingatan yang bagus, Demeter.”

Tuan memuji untuk yang kesekian kali. Aku tersenyum. Kuakui, cerita-cerita tentang nenek moyang bangsa Yunani memang terangkai kuat dalam ingatan, sebab Ayah sering mendongengkan pada kami, kedua putrinya. Ayah akan mengulang-ulang kisah yang dia suka, lalu akan lebih sering mengulangi bila tahu ada yang menarik hatiku. Bacaan yang Tuan bawakan melengkapi informasi yang pernah Ayah ceritakan.

Aku tiba-tiba merindukan Ayah seiring melintasnya bayangan masa kecil.

Aku dan dan Kakak berlari-lari di padang rumput yang mengering. Terkadang, kami mengikuti Ayah yang pergi ke area pertanian saat musim panen tiba. Aku yang pertama kali mengusulkan agar kami menyelinap ke dalam gerobak barang ketika Ibu sibuk mengurus perlengkapan Ayah.

Ayah awalnya terkejut mengetahui aku dan Kakak ternyata turut dalam perjalanan. Akan tetapi, ayah tidak memarahi kami. Namun, Ayah berpesan agar kami berhati-hati dan jangan sampai terpisah dari rombongan. Bila terpisah, maka Ayah akan tertinggal karena harus mencari kami.

Pergi sendiri dalam berdagang sungguh berbahaya. Di jalan, kami semua sering kali harus berhadapan dengan para perampok. Atau juga penarik pajak gelap, yang tidak lain adalah cara halus untuk merampok pedagang. Penarik pajak gelap sudah pasti bukan pegawai atau pasukan kerajaan, melainkan orang-orang serakah yang menakut-nakuti dan mengancam pedagang untuk kepentingannya sendiri.

Maka, para pedagang tergabung dalam satu kelompok. Tiap kelompok memiliki dua atau tiga orang penjaga sewaan, yang bertugas mengamankan barang juga keselamatan setiap anggota yang tergabung.

Aku menggeleng, berusaha membuang kenangan bersama Ayah. Sakit begitu terasa setiap kali mengingatnya, yang bahkan aku tidak tahu di mana Ayah sekarang. Apakah dia sudah pulang, apakah dia mencariku, atau yang lainnya ... aku tidak memiliki satu pun kesimpulan gagasan tentang Ayah. Yang aku punya hanya rasa rindu untuknya.

Pandanganku beralih ke samping, pada Hephaestion yang berdiri di belakang jendela kamar bersamaku. Dia menengadah, menatap langit gelap yang tiada berbintang. Angin dingin berembus menerpa kami berdua.

“Aku selalu bangga pada bangsa kita, Yunani. Seluruh Yunani yang tidak menyerah pada kekuasaan Persia.”

Lihat selengkapnya