Aku menunduk, mengatur napas yang tersengal-sengal. Kedua tanganku memegangi lutut, lelah. Aku melirik seorang prajurit yang berdiri di depanku. Dia masih terlihat bugar. Aku mengangkat tangan kanan ke udara, pertanda minta waktu untuk beristirahat.
“Kau ingin berhenti berlatih, Mistress?” tanyanya sambil menghampiriku.
“Belum, aku hanya ingin minum.” Aku menjawab. Setelah napas cukup normal, aku menegakkan badan hendak mengambil air.
Pandanganku sesaat tertuju pada perkemahan di sisi agak jauh. Hephaestion berkata dia akan menyusul, tetapi belum juga datang.
“Aku takut kau terluka, Mistress.” Prajurit yang bersamaku lagi-lagi melayangkan protes.
“Aku masih kuat,” ucapku teguh.
Kuraih kantong kulit kambing berisi air minum, menenggaknya seperti laki-laki. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, mungkin prajurit itu ingin melakukan hal yang lain. Dia mungkin lelah, maka berpikir aku pun begitu.
Aku menyuruhnya beristirahat, dan mengatakan bahwa aku berubah pikiran. Kuminta dia menungguku berkemas, lalu kami akan bersama-sama kembali ke perkemahan.
Selama berjalan kaki, dia menolak berada di sampingku meski sudah berulang kali kuyakinkan tidak akan apa-apa. Prajurit suruhan Hephaestion itu berkeras. Kubiarkan dia pada akhirnya, melangkah di belakangku.
Mistress, bagiku posisi yang sama sekali tidak dapat dibanggakan. Akan tetapi, semua orang tampaknya menganggap berbeda sebutan itu ketika Hephaestion secara resmi mengumumkannya. Sekarang tidak ada lagi seseorang yang memanggilku Demeter, kecuali mereka yang memiliki posisi istimewa.
Beberapa teman Hephaestion bahkan mencandaiku dengan memanggil Hephaestion Mistress. Aku tidak tersinggung, justru itu terdengar seperti lelucon di telingaku. Seakan-akan mereka menegaskan bahwa aku milik Hephaestion.
Para pelayan dan prajurit semua memanggilku dengan sebutan baru, termasuk Jace dan Callia. Aku secara pribadi telah meminta mereka untuk tetap menyebut namaku, tetapi keduanya menolak dengan alasan itu tidak sopan dan menyalahi aturan.
Resah dan kebingungan menyelimutiku ketika mengingat keduanya. Jace dan Callia, aku merasa mereka terlalu berlebihan bersikap. Sesungguhnya, aku kehilangan kebersamaan yang dulu pernah kami miliki. Aku tidak ingin mereka memandangku berbeda, bahwa aku masih Demeter yang dahulu mereka bantu. Aku masih ….
“Demeter!”
Aku mencari arah suara. Dari sisi kanan, di antara batang-batang pohon. Akan tetapi, tidak ada seorang pun terlihat.
“Demeter!”
Refleks aku berjingkat. Seseorang mendadak muncul di hadapanku. Aku mengambil langkah mundur, tangan kanan merentang ke belakang meminta sesuatu dari prajurit. Sesuatu apa pun yang bisa kugunakan untuk melindungi diri.
Salah satu sarissa yang kami gunakan berlatih diayunkan padaku. Kutangkap dengan mudah, karena jarak kami dekat. Melihat gerakanku, prajurit itu pun memasang posisi siaga. Aku bisa menyuruhnya pergi, tetapi prajurit itu tetap akan patuh pada perintah Hephaestion.