Alexander memulai peperangan melawan Persia pada awal datangnya musim semi. Krisis yang melanda Macedonia membuat banyak tentara Yunani beralih menjadi tentara bayaran Persia. Seperti yang telah terjadi selama ratusan tahun sebelumnya, Persia terus menyuap orang-orang Yunani untuk tunduk dan menakut-nakuti mereka dengan sebuah serangan besar.
Cerita kuno yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh wilayah Yunani, termasuk aku. Aku sudah pernah mendengarnya. Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda dari kisah usang itu, karena kedatangan Alexander telah ditunggu oleh beberapa ribu pasukan Parmenion yanglebih dulu berada di daratan Asia. Sebagai raja baru, Alexander mendapat dukungan penuh dari pasukan inti yang telah bertahun-tahun bertarung bersama Raja Phillip.
Dari yang pernah kudengar, pasukan Macedonia begitu besar dan terdiri dari banyak aliansi. Suku-suku Balkan, pasukan pemberani Thrace, orang-orang Macedonia sendiri, juga Thessaly. Ditambah juga Alexander menyewa tentara profesional Yunani yang tidak terpesona oleh tawaran Persia. Tidak hanya itu, pasukan juga terdiri dari para penyembuh, peneliti, ahli sejarah, pemandu jalan, turut serta pula seorang keponakan Aristoteles.
Perjalanan dimulai dari istana Pella menuju Amphipolis, melewati Sungai Strymon sepanjang pesisir Utara Aegean. Itu adalah rute yang sama saat Alexander beberapa tahun sebelumnya menuju Sungai Danube. Bedanya, sekarang dia tidak mengambil jalan ke Utara, melainkan ke Timur menuju Sungai Hebros. Pasukan menuruni Semenanjung Gallipoli mengarah ke Selat Hellespont.
Aku menoleh pada Callia, dia tersenyum lalu mengangguk. Sungguh aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Sementara itu, kurasa dia tidak tahu aku tengah menahan sakit tak berkesudahan, sudah beberapa hari sejak Hephaestion mendatangiku di satu malam.
Tuan sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya, minum-minum lalu terlelap di sembarang tenda. Aku tidak tahu mengapa dia berubah, lebih pendiam dan sering mabuk. Hephaestion seperti bukan laki-laki yang dahulu kukenal.
“Apa yang Mistress tulis di sana?” Jace bertanya, dia duduk di dekat Callia.
“Nama-nama tempat yang aku ingat, dan pernah disebutkan oleh Tuan.” Aku menggeser duduk, lalu bersandar pada tumpukan kain yang berfungsi sebagai bantal. “Aku tidak sepintar Tuan dalam mengingat, aku juga tidak bisa menulis seindah tulisan tangan Tuan. Akan tetapi, aku pun takut satu saat nanti, tidak bisa mengisahkan kembali perjalanan panjang ini.”
Perlahan, aku memejam. Terdengar seseorang berdiri, entah Callia atau Jace. Lalu dia merapatkan duduknya di samping tubuhku.
“Aku tidak pernah menyangka, Mistress bisa membaca dan menulis. Itu sungguh sesuatu yang tampak begitu menyenangkan.” Suara Callia, dia selalu pandai memuji dan mengatakan sesuatu yang baik.
“Mungkin begitu. Maka, aku pun bisa membantu pekerjaan Tuan jika dia ingin menulis sesuatu.”
Masih dengan mata tertutup, anganku mengulas kembali senyum hangat Tuan. Senyumnya yang menghangatkan hati, sentuhannya yang lembut. Telah begitu banyak malam yang kulewati bersamanya. Tanpa sadar, air mataku menetes. Inikah yang dinamakan rindu? Inikah rasanya mengharapkan seseorang dengan begitu dalam?
Bila jawaban dari pertanyaanku adalah, iya. Betapa aku menyesal pernah merasakannya. Ketidakpastian yang sungguh menyiksa.
“Mistress, kau menangis? Apakah ada sesuatu yang Mistress rasakan? Jace ….”
“Tidak, Callia. Berhenti Jace, kau tidak perlu memanggil siapa pun. Kalian berdua pergilah tidur.”