Aku ingin menjawab. Aku ingin membela diri, tetapi satu suara pun tidak keluar dari tenggorokan. Tercekat. Pandanganku mulai kabur lalu gelap.
Samar-samar aku mendengar suara memanggil, silih berganti. Dekat-jauh, dekat-jauh, suara-suara itu seperti menggantung di udara. Tak lama kemudian, aku merasakan sentuhan-sentuhan di kaki juga lengan tangan. Lalu aku melihat Ayah tersenyum, dia memakai kain putih hanya sebatas perut. Sudah menjadi kebiasaan Ayah, dia sering tidak menutupi dadanya, bahkan ketika angin malam begitu dingin.
Ayah berjalan menghampiriku, mengusap bahuku lalu membisikkan sesuatu. “Bangunlah, sekarang bukan saatnya.”
Aku menajamkan pandangan, sekarang bukan saatnya. Saat untuk apa? Apakah Ayah datang menjemputku? Ataukah dia akan membiarkanku hidup dalam penderitaan selamanya?
Bayangan Hephaestion datang dan pergi. Aku tidak mengerti, mengapa dalam mimpi pun aku masih bisa merasakan cinta kasih untuknya. Dia yang sudah berlaku semaunya padaku, dan Tuan tidak menikahiku? Mengapa? Apa karena aku bukan seorang gadis, apa karena aku ....
Bila Hephaestion tidak menginginkanku lagi, untuk apa aku tinggal bersamanya? Dia pasti akan membuangku, menggantikan dengan yang lain. Aku juga tidak ingin lagi cemas dalam ketakutan setiap waktu, setiap teringat berada di tempat yang sama dengan Ares.
Bodoh. Aku memang bodoh karena telah meminta pengampunan untuknya. Aku hendak buka suara, menyanggah perintah Ayah. Akan tetapi, Ayah mengangkat tangan kanannya. Isyarat itu, pertanda bahwa dia tidak ingin disanggah.
“Sekarang bukan saatnya.”
Ayah menghilang. Aku berteriak semampuku, sebab masih ingin memandangi wajahnya. Aku ingin dia memberiku pelukan hangat.
“Mistress. Syukurlah Mistress bangun.”
Wajah yang pertama kali kulihat ialah Callia. Dia menangis, lalu di ujung kakiku ada Jace yang juga berurai air mata. Aku menelan ludah, rasa hati ingin tahu apa yang telah terjadi. Namun, aku tidak sanggup mengetahui seandainya perkiraanku memang benar adanya.
Hephaestion, aku tidak tahu apa yang telah dia lakukan setelah aku tak sadarkan diri. Sekuat tenaga aku menekan gejolak panas dalam dada, terpuruk dan terhina. Aku bahkan, tidak ingin tahu dari mana dia mendengar aku telah membunuh calon bayinya.
Si Penyembuh, mungkin dialah orang yang membuka rahasia.
“Mistress, minumlah.” Callia memberikan cawan kecil padaku. Aku dibantu untuk setengah duduk, lantas minum sesuatu yang dia berikan. Rasanya pahit.
“Mistress, mengapa semua bisa terjadi?” Jace menangis, dia tidak benar-benar bertanya melainkan tengah mengeluh.
Perlahan, penglihatanku pulih dan semakin jelas. Callia mengatakan semuanya. Dia masih terjaga ketika suara sesuatu jatuh berasal dari tendaku membuatnya terbangun. Callia mengintip dari celah tendanya, dia melihat Hephaestion keluar dari tendaku.