Perjalanan panjang selama empat hari, membawa kami semua sampai di Ephesus. Dua tahun sebelumnya Ephesus sudah pernah menerima kedatangan Parmenion. Kemudian, Persia menundukkan kota dan menghancurkan patung Dewi Athena yang dibangun oleh orang-orang Ephesus. Persia memerintah, juga menarik pajak.
Di banyak sudut kota, prajurit-prajurit Persia berjaga. Namun, mudah bagi Alexander untuk memasuki Ephesus kemudian mengklaim kembali kemerdekaan mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Alexander terhadap dua kota lain dekat Ephesus. Rakyatnya dibebaskan. Macedonia berkuasa tanpa menarik pajak. Sebagai syarat dan bukti terima kasih, Alexander meminta agar laki-laki usia dewasa dikirim untuk membantu pasukan Macedonia.
Tiada perlawanan berarti dari penduduk Ephesus juga kota kecil lainnya. Kabar yang kudengar, banyak yang telah mengetahui tentang kekalahan Persia di Granicus. Maka, mereka berpikir dua kali untuk melawan kedatangan pasukan Macedonia.
Selama perjalanan jauh, aku tidak bertemu dengan Hephaestion. Malam atau siang, sering kali bayangan peristiwa malam itu terlintas. Aku tidak dapat membuang prasangka buruk tentang mereka berdua. Semua terasa percuma, meski aku sudah berusaha memaklumi bahwa Alexander dan Hephaestion terikat dalam persahabatan yang begitu kuat sejak anak-anak.
“Demeter.” Satu panggilan mengalihkan perhatianku dari pena. Aku menoleh.
“Kau sengaja mengabaikanku.” Hephaestion tiba-tiba sudah berada di sampingku. Aku menangkap, pandangan matanya sekilas menatap apa yang ada di meja. Kubiarkan, aku tidak berniat menutup-nutupi apa pun darinya. Berbeda dengan perlakuannya padaku yang penuh rahasia.
“Aku akan pergi. Aku tidak tahu untuk berapa lama,” ucapnya kemudian.
Aku sebatas mengangguk. Enggan bersuara di hadapannya setelah semua yang terjadi di antara kami. Rasaku untuknya seakan-akan beku dan perlahan mati.
“Kau tidak berusaha mengirim pesan untukku. Apa kau tidak merindukanku?”
Ingin sekali aku tertawa. Memangnya apa yang Hephaestion harapkan dariku? Sebuah perlakuan manis, begitukah? Apakah masih penting ada tidaknya aku? Oh, aku sungguh meragukan kemungkinan itu. Dia bisa mendapatkan yang lain, dan yang ‘lainnya’ lagi.
Aku membuang pandangan, tak mau berlama-lama memandangi dirinya atau pertahananku sendiri bisa goyah. Hephaestion sungguh menawan, lebih menawan dari Alexander. Aku terlambat menyadarinya. Ketika kesadaran mendatangiku, keberadaan Hephaestion telah menjadi asing.
“Apa yang kau tertawakan?” Hephaestion mencekal lenganku.
“Tidak ada. Aku hanya teringat tentang masa laluku. Sebagai perempuan tidak berharga sepertiku, sungguh terlalu banyak yang dapat ditertawakan, Tuan.”
“Demeter, sadarkah kau telah berubah?”
Refleks aku memandangnya penuh rasa ingin tahu. Dia menuduhku berubah. Bukankah semestinya aku yang mengatakan kalimat itu?
“Maaf, Tuan. Aku sungguh tidak menyadarinya.” Aku mengaku, meski tidak sepenuhnya memahami. Pandanganku menunduk, menghormati dia sebagai pemilik tubuh juga nyawaku.
“Kau berbeda, Demeter.” Hephaestion tiba-tiba memelukku. Gerakannya terasa sedikit kaku, itulah yang kupikirkan.
Aku masih menunduk, mulai memejam. Aroma tubuhnya, betapa aku merindukan semua yang terjadi. Aku tidak pernah bermaksud mengabaikan dia. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimanakah seharusnya. Tak kuasa kutahan lelehan air mata.
“Sementara, kau akan aman di Caria. Jagalah dirimu baik-baik.”