The Storyteller, Macedonia

Yayuk Yuke Neza
Chapter #19

Delapan Belas

Hephaestion berbalik. Di antara pekat kabut, aku melihatnya berlari lalu menopang tubuhku yang limbung. Samar-samar kudengar dia memanggil namaku. Di sisa-sisa kesadaran aku merasa dia mencemaskanku? Apakah benar? Ataukah aku hanya berilusi?

Aku merasa dibaringkan, lalu diangkat kembali oleh beberapa orang. Mungkin Jace dan Callia yang menolongku. Sampai semua gelap, dan aku tidak mengingat apa pun lagi.

Udara dingin membuat bulu-bulu halus di lenganku berdiri. Aku terbangun di tempat asing dan kering, tidak ada apa pun selain tanah pasir yang luas dan seperti tidak berujung. Matahari bersinar terik, tetapi udara di sekeliling terasa dingin. Aku mencoba menerka-nerka keanehan apa di sekitarku, di mana aku ….

“Demeter, mengapa kau datang?”

Terdengar suara, tetapi tidak ada siapa pun. Aku memutar badan, mencari-cari, tetap tidak kutemukan dari mana asal suara itu. Namun, mengapa dia mengenaliku? Siapa di sana? 

“Demeter, ini aku ayahmu.”

Ayah. Benarkah itu Ayah, tetapi di mana Ayah. Aku ingin memanggil, nahasnya tidak ada satu kata pun berhasil keluar dari bibirku. Berulang kali kucoba membuka mulut, percuma.

“Kembalilah!” Suara itu menggelegar.

Aku berjingkat, tersentak. Ketika aku membuka mata, hari sudah terang. Sinar matahari menerobos celah dinding batu tempatku berada. Nyala api di sudut kamar dan di dekat tempat tidur telah padam. Akan tetapi, seperti baru dimatikan sebab masih ada sedikit asap yang keluar dari sana.

Ingatanku berusaha mengenali di mana aku sekarang. Aku tidak tahu, dan tiada petunjuk apa pun bisa kujadikan pertanda. Kusibak kain selimut yang menutupi sebagian tubuh, ketika aku setengah duduk tiba-tiba dadaku sesak. Aku terbatuk-batuk, lama, sampai benar-benar terasa sedikit lebih baik.

Pandanganku menangkap cawan minuman di meja kecil dekat tempat tidur, mungkin itu air atau anggur. Aku tidak peduli, secepatnya aku ingin mengusir rasa kering di tenggorokan. Aku menurunkan kaki, di saat bersamaan ada seseorang yang membuka pintu kamar.

Dua perempuan dewasa yang mengenakan pakaian pelayan. Mereka masuk membawa nampan. Aku tidak mengenali satu pun di antaranya, dugaanku mereka adalah orang-orang Caria. Salah satunya mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak mengerti. Itu memperkuat dugaanku bahwa mereka adalah pelayan Caria.

Bahasa yang digunakan oleh orang Caria tidak seperti orang Yunani seperti pada umumnya. Bahasa mereka telah banyak dipengaruhi oleh bahasa Persia. Terdengar kalimat yang sama diulangi lagi, sementara aku membeku tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

Mereka memandangku, aku pun memandangi keduanya. Setelah meletakkan sesuatu di meja, yang sepertinya makanan juga secawan kecil cairan pekat berwarna hitam, mereka langsung keluar. Apakah itu ramuan untukku? Akan tetapi, bagaimana jika itu racun? Tidak. Aku tidak bisa mempercayai siapa pun.

Aku berdiri menatap nampan, dan segala sesuatu yang ada di meja dengan benak menimbang-nimbang. Di belakang, terdengar pintu kembali terbuka. Aku berbalik, ingin tahu siapa lagi yang datang.

Ares?!

Lihat selengkapnya