“Jangan berani-berani kau mendekat!” Aku mundur, memperingatkan Ares agar dia tidak bergerak. Lebih baik dia pergi jauh dari hadapanku.
“Kau sungguh pemberani, Demeter.” Ares tersenyum, bukan, yang kulihat adalah sebuah seringai. “Aku tidak salah pernah memilihmu.”
Aku yang bodoh, karena pernah percaya pada seseorang seperti Ares. Tanganku meraih pisau kecil yang terselip di pakaianku. Pengalaman mengajarkan, aku tidak boleh lengah sedikit pun.
Ares masih memandangku. Tatapan mata itu begitu kubenci. Aku tidak tahu sejak kapan menjadi marah setiap kali melihatnya. Bahkan, aku tak pernah ingin lagi mengingat juga mendengar namanya. Segala sesuatu tentang Ares, hanya menambah luka yang belum pulih dalam diriku.
“Kita pernah saling berbagi, dahulu sekali.” Ares mulai mengatakan sesuatu yang ingin kukubur dalam. Masa lalu kami, aku berharap bisa membuang semua ingatan yang ada di kepala. Ketika kami masih anak-anak ….
“Ares, kau sudah pulang?” Aku berlari mengejar Ares. Melihatnya pulang dari sekolah adalah kesempatanku untuk bertanya, meminta dia mengulang apa yang telah dipelajari.
Apabila Ayah atau Ibu kami lalai atau sibuk dengan pekerjaannya, maka aku dan Ares punya banyak waktu untuk bermain. Ares memiliki mata biru gelap yang berkilat bila terkena sinar matahari. Dia tersenyum lebar, menggandeng tanganku lalu kami berdua berlarian.
Aku dan Ares sering menyelinap di antara para petani di ladang yang tengah bekerja. Dahulu, aku sama sekali tidak tahu jikalau mereka adalah budak yang dibeli untuk dimanfaatkan tenaganya. Sering kali, kami menjumpai seseorang mati tergeletak di ladang. Tidak ada yang mengurus mayatnya, kecuali si tuan tanah berbaik hati untuk sekadar mengubur atau membakarnya.
Ketika pertama kali aku menyaksikan pemandangan mengerikan itu, satu pertanyaanku ialah siapa mereka? Di mana keluarganya? Apa tidak ada saudara yang mencari ketika dia tidak pulang dan ternyata mati?
Sekarang aku mengerti, bahwa hidup seorang budak ada di tangan tuannya. Apa pun yang terjadi dalam hidup si budak adalah urusan tuannya, bahkan sering terjadi budak-budak itu justru dijual oleh anggota keluarga mereka sendiri.
“Kau mengingat tentang kita bukan?” Pertanyaan Ares mengembalikan kesadaranku.
Buru-buru aku melihat sekeliling. Semua orang bisa melihat kami, juga mendengar apa yang kami bicarakan. Tidak. Aku tidak bisa berada di sini walau hanya beberapa saat lebih lama. Terlalu berisiko seandainya akan banyak orang yang menyadari pernah adanya kebersamaan di antara aku dan Ares.
Aku menggeleng, tidak yakin apa yang membuatku bersikap begitu. Di saat yang sama Jace mengejutkanku dengan sebuah sentuhan di lengan kiri. Aku sontak berjingkat. Ketika aku mengalihkan pandangan dari Ares pada Jace, perempuan yang sudah kuanggap seperti kakak itu menyipitkan mata. Sungguh terasa ada keingintahuan mendalam dari ekspresi yang Jace tunjukkan.
Jace bertanya apakah aku sakit, tentu tidak. Aku sehat, benar-benar sehat. Dia kemudian ingin tahu apakah aku membutuhkan sesuatu, tentu tidak.
Pandanganku beralih kembali di arah Ares berada, kosong. Dia sudah pergi. Perundingan mendadak yang diadakan dalam kelompok mulai tampak rusuh. Beberapa orang melempar batu dan kayu kecil pada kelompok lain yang memiliki pendapat berbeda.
Rombongan kami tak lagi satu suara, sebagian ingin melanjutkan perjalanan menuju Pella. Di sisi bersebarangan ada mereka yang memilih kembali menyusul pasukan Alexander, karena jarak kami yang belum terlalu jauh.
Jace mengeratkan pegangannya. Tanpa satu kata pun, aku tahu dia tengah menunggu keputusan dariku. Ke mana aku akan membawa mereka ....
Aku menengadah, memandang langit malam tanpa bintang. Sang bulan hanya mengintip di balik awan gelap, ke mana kami akan pergi jika sulit menentukan arah di mana gelap.