Perbedaan pendapat yang terjadi antara Alexander dan Parmenion sampai padaku. Beberapa pelayan mendapat kabar ketika mereka melayani para jenderal lain.
Aku pun menyadari sebab Hephaestion menjadi begitu marah, ketika aku mengatakan akan lebih baik jika Alexander menerima tawaran siapa pun yang sanggup menyembuhkannya. Penyembuh itu adalah salah satu yang terbaik, tetapi keluarganya pernah mati sebagai pemberontak.
Parmenion mengirim surat, memberitahu Alexander harus lebih berhati-hati. Raja tidak dapat memercayai orang lain dengan buta. Akan tetapi, aku sendiri ragu bahwa Parmenion tidak memiliki kepentingan dalam semua tindakan-tindakan dan pengabdiannya. Terbukti, sekarang sebagian besar keluarganya, termasuk anak-anak dan menantunya berada dalam pasukan.
Kabar kematian Memnon yang meninggal karena sakit, terasa tidak memberi keuntungan dalam kondisi Alexander yang juga terbaring lemah. Semua serba sulit, ditambah kelicikan Persia.
Persia telah mengumumkan bagi siapa yang dapat membunuh Alexander, maka orang itu akan mendapat hadiah besar.
“Aku sungguh tidak mempercayai Penyembuh itu.” Jace mengembalikan anganku ke alam nyata.
Aku beralih memandang Callia yang juga mengangguk, setuju. Dalam hati kecil, aku pun curiga semuanya adalah siasat. Apabila penyakit Alexander memang dapat disembuhkan, mengapa hanya satu orang yang berani menjanjikan kesembuhan. Akan tetapi, itu tidak ada hubungannya denganku sekarang. Aku akan pergi, tidak tahu ke mana ... dan apa yang akan kulakukan setelah memisahkan dari pasukan.
“Mistress!” Callia tiba-tiba memekik.
Aku buru-buru berdiri dari duduk. Di belakang garis pintu tenda, aku melihat seseorang berdiri, Ares. Jace memandangku, aku membalas tatapannya dengan anggukan. Dia dan Callia boleh pergi.
“Apa yang kaulakukan di sini? Lakukanlah dengan cepat. Aku tidak melawanmu. Bunuhlah aku.”
“Aku tahu kau akan pergi.” Ares berucap datar.Aku tidak terkejut dengan pengakuannya.
“Aku merasa tidak memiliki kepentingan untuk menjelaskan.”
“Sesungguhnya memang tidak, kecuali jawaban untuk alasanmu mengampuniku. Aku tidak akan tenang, sampai bisa mengetahuinya.”
Aku menelan beberapa kata yang hampir terlontar. Mungkin sekarang waktu untuk bicara dengan cara yang baik dan beradab. “Aku menyelematkan nyawamu, karena kau telah berjasa mengajarkan ilmu padaku. Aku tidak ingin berutang padamu seumur hidupku. Anggaplah kita sudah impas.”