Kudengar, pembawa pesan mengatakan bahwa pasukan memilih untuk bertahan di Issus menunggu Persia mendekat. Tidak ada jalan lain selain menghadapi musuh, atau Macedonia akan dianggap penakut. Dua minggu terlewat setelah kabar kesembuhan Alexander.
Pasukan Persia yang begitu besar kemungkinan akan dipimpin oleh Raja Darius sendiri, sebab Memnon dari Rhodes telah menemui kematiannya. Memnon merupakan salah satu jenderal terbaik, atau memang terbaik yang Persia miliki. Mata-mata Macedonia telah memberi tahu, bahwa Persia bergerak mendekati pasukan Macedonia.
Pertempuran besar, sebentar lagi harus keduanya hadapi. Aku mengatakan keduanya, karena memang sungguh keduanya. Kami yang tersisa memutuskan untuk menyusul, memboyong perbekalan yang belum terbawa.
Jace dan Callia menanyakan kondisiku juga pilihanku. Mungkin mereka berpikir aku tidak sungguh-sungguh.
“Kalian meragukanku?” Aku bertanya terus terang. Mereka seketika menunduk, lalu menggeleng perlahan.
“Apa menurut kalian akan lebih baik jika aku tidak bertahan dengan keputusanku?” tanyaku lagi.
“Kami tahu, Mistress lebih bijak dibandingkan dengan kami.” Callia yang menjawab.
“Kami hanya tidak ingin terjadi sesuatu pada Mistress. Kami bisa mengurus Mistress, dan meminta beberapa prajurit menemani Mistress. Seandainya Mistress ingin menetap di wilayah terdekat.” Jace memberi usulan.
Aku bersyukur atas kemurahan hati juga perhatian mereka. Akan tetapi, aku tidak bisa berdiam diri, sementara Hephaestion berjuang untuk Macedonia. Aku tidak boleh menjadi lemah dan penakut.
Ada hal lain yang harus kukatakan langsung pada Hephaestion. Sesuatu yang membuatku menunggunya hingga setengah tak sadarkan diri. Aku ingin dia menjadi orang pertama yang tahu, bahwa aku … sekali lagi dianugerahi oleh Dewa.
Jace dan Callia masih menunduk, berdiri terdiam. Kuperintahkan mereka untuk kembali bersiap, sebab aku tidak ingin tertinggal oleh rombongan.
Perjalanan kelompok kami yang tersisa tidak menemui banyak hambatan. Sebagian besar wilayah yang kami lewati telah ditaklukkan oleh Alexander, maka orang-orang memandang kami sebagai Macedonia yang berkuasa.
Mungkin pemikiranku sedikit berlebihan, karena mereka bisa jadi menghindari orang-orang Macedonia disebabkan oleh rasa benci.
Hatiku berdebar bahagia setiap kali teringat sebentar lagi akan dapat berjumpa dengan Hephaestion. Aku telah berjanji pada diriku untuk tidak lemah di hadapan Tuan. Bagaimanapun caranya, aku akan mencari cara agar bisa bicara dengan dia. Hanya kami dan Dewa yang menjadi saksi.
Beberapa hari perjalanan terasa begitu ringan, hingga tak terasa kami sudah dekat dengan perkemahan pasukan di Issus.
Kelompok kami sampai menjelang tengah hari. Aku disambut oleh beberapa prajurit Hephaestion yang setia. Sekarang, aku mengenal lebih banyak anggota pasukan kanan juga tengah. Di posisi itulah Hephaestion biasanya memimpin.