“Kau mengandung?” Hephaestion bertanya, tatapannya tajam padaku.
“Aku mengandung.” Aku menjawab tanpa ragu, untuk kedua kalinya aku dipercaya oleh Dewa untuk memiliki seorang bayi.
Hening. Sekeliling kami mendadak sunyi sepi. Aku dan Hephaestion saling berpandangan selama beberapa waktu. Sentuhan tangannya di lenganku membuyarkan angan tentang hidup kami di masa depan.
Aku ingin bisa selalu bersamanya, melihat dia mengasuh anak-anakku dengan penuh kasih. Aku juga ingin melihat Hephaestion mengajari mereka caranya membaca dan menghitung. Begitu banyak keindahan serta kebahagiaan yang akhirnya hanya mampu kusimpan dalam angan.
“Aku akan menikah.” Hephaestion mengulangi pernyataannya lagi.
“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan anak kita? Tuan ingin aku membunuhnya, begitu?”
“Aku tidak menyuruhmu melakukan sesuatu pada calon bayi itu. Dengarlah, Demeter.”
Kalimat Hephaestion terputus ketika beberapa orang memanggilnya untuk bergabung dalam pesta kemenangan. Air mataku luruh. Betapa sakit menghadapi kenyataan bahwa aku sepertinya tidak lagi menjadi berharga dan diinginkan.
“Kau tetaplah di sini. Demeter, jaga dirimu. Aku akan berusaha untuk segera kembali.” Hephaestion berpamitan, lalu pergi meninggalkanku sendiri.
Pertemuan terakhir itu telah terjadi berminggu-minggu yang lalu, tetapi aku masih belum bisa melupakannya. Setidaknya, mencoba berdamai dengan hatiku pun tak mampu. Hephaestion berkata dia akan segera kembali. Namun, kedatangannya tiada kunjung terjadi.
Seusai pesta, sebagian pasukan berangkat meninggalkan perkemahan untuk menuju Damaskus. Persia memiliki wilayah kekuasaan yang begitu besar, dan sistem pemerintahannya mengharuskan tunduk membuat suku-suku atau wilayah tertentu menjadi sedikit penghalang atas kemenangan Macedonia.
Aku memikirkan apa yang ada di kepala Alexander. Raja ingin mendapat kekuasaan penuh atas kemenangannya di pertempuran Issus. Menurutku, dia tidak salah, tetapi wewenangnya membuat kecemasanku tiada pernah berakhir memikirkan Hephaestion.
Rasanya, mungkin aku perlu bicara pada Alexander. Akan tetapi, di saat perang sungguh sulit bisa bertemu dengannya atau sekadar berselisih jalan. Alexander tidak pernah terlihat olehku, bahkan jarang berada di wilayah yang sama denganku.
Apakah benar Hephaestion akan menikah dengan seseorang? Apakah Alexander akan diam? Atau justru Alexander yang memilihkan pasangan untuk Hephaestion?
Pening. Seperti ada yang berdentam-dentam di dalam kepala setiap aku memikirkan jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaan itu. Aku memijit dahi dengan satu tangan. Hari sudah semakin siang, matahari telah naik tinggi. Sinarnya yang panas dan menyilaukan, membuatku rasanya ingin bersembunyi di satu kamar gelap tanpa cahaya.
Kehamilan keduaku terasa berbeda dari yang pertama. Aku lebih sering kelelahan, dan seperti ada yang melemahkan diriku ketika aku berada di bawah terik matahari.