Aku tak bisa menahan tawa melihat Jace mengejar anakku. Anak itu, sekarang sudah lebih besar dan mulai senang berlari. Satu tahun lebih usianya, semakin dia tumbuh terlihat begitu mirip dengan ayahnya.
“Mistress, kau memanggilku?” Seorang pelayan mengejutkanku.
Benar, aku memang meminta seseorang datang untuk membantuku mengemasi beberapa barang. Tidak lama lagi aku akan pergi menyusul Hephaestion. Pandanganku beralih pada si kecil yang tertawa lebar, ditemani Jace juga Callia yang baru datang.
Sebelum kembali ke kamar, aku berpamitan pada mereka agar tidak mencari-cari. Pelayan di belakangku, terus menunduk sepanjang langkah.
Issus sungguh berbeda dibandingkan dengan Pella. Para pelayan benar-benar pendiam, bahkan mereka hampir tidak pernah menjawab ketika ditanya. Aku terkadang berpikir apakah benar rumor-rumor tentang perbudakan yang tidak manusiawi telah lama terjadi di Persia.
Namun, aku tidak dapat memungkiri betapa kaya dan berlimpahnya kekayaan wilayah-wilayah di Kerajaan Persia. Istana Pella tidak semegah apa yang disebut istana. Pella lebih sederhana, tidak berlebihan. Pella meriah dengan perayaan, perlombaan, dan pesta-pesta. Sementara Issus, begitu menyilaukan. Barang-barang yang terbuat dari emas, perabot-perabot yang indah, kursi-kursi berhias permata.
Perbedaan juga begitu nyata terlihat pada apa yang para perempuan kenakan. Orang-orang Macedonia tidak banyak memakai hiasan, bahkan untuk mereka yang memiliki darah bangsawan. Sedangkan perempuan Persia, aku menganggap mereka terlalu berlebihan. Hiasan kepala yang begitu banyak, penutup, pernak-pernik gelang tangan, gelang kaki, dan masih banyak lagi yang ada di kain mereka.
“Mistress.” Ares datang dari arah berlawanan denganku. Dia berhenti, lalu menunduk untuk memberi salam.
Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang ingin Ares katakan. Rasanya seperti dia sengaja mencariku. Aku berhenti untuk membalas sikapnya, Ares mengangkat pandangan dan tatapannya. Benar. Aku dapat membaca arti kedipan perlahan itu.
Kami berhenti di lorong istana, sehingga siapa pun bisa datang dari berbagai arah. Siapa pun bisa melihatku juga Ares. Aku berbalik, menyuruh pelayan yang mengikutiku untuk pergi ke kamarku lebih dulu. Padanya juga kuberi tahu apa yang harus dilakukan tanpa harus menungguku datang.
Setelah pelayan pergi, Ares mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya. Sebuah kain kecil yang terlipat, dugaanku itu adalah sebuah surat. Apakah dari Hephaestion? Rasanya tidak mungkin, sebab baru beberapa minggu lalu aku menerima surat dari Hephaestion.
Aku menengadahkan telapak tangan kanan, menunjuk satu arah menuju balkon yang mengarah ke taman. Ares mengikuti langkahku berjalan lebih dulu.
“Katakan padaku, dari siapa ini?” Aku mengangkat benda pemberiannya.
“Dari seseorang yang kau kenal. Aku tidak sengaja bertemu dengannya.” Ares tersenyum, lalu membuang pandangan pada kejauhan di depan kami.
Angin segar sore hari berembus, menerbangkan suara-suara panggilan untuk Dewa. Rindu-rindu, juga doa-doa mereka yang tengah berharap atau menunggu. Aku mencoba untuk tidak mencemaskan sesuatu, yaitu sebuah kain asing dari seseorang yang masih menjadi teka-teki.