“Kau bisa menunjukkan di mana ayahku?” Aku mendesak Ares.
Refleks aku berbalik, memandangi sekitar. Ada kecemasan yang menjalar, aku takut seseorang mendengar percakapanku dan Ares. Aku tidak pernah mempercayai Ares setelah apa yang dia lakukan padaku. Akan tetapi, firasatku mengatakan sebaliknya. Aku kehilangan rasa ragu.
Pandanganku kembali pada Ares. Dia pun sekilas mengamati sekeliling. Ares menghela napas dalam, dadanya terlihat naik turun.
“Apa yang kau minta sebagai imbalan?” tanyaku memaksa. Aku memiliki sejumlah kekayaan, dan Ares bebas meminta jika dia menginginkan semua itu. Selama aku mampu membayar, maka tidak ada keberatan asal aku bisa bertemu Ayah.
Ares tersenyum tipis, dan samar. “Kau pikir aku menginginkan semua itu? Tidak, Mistress.”
Aku bisa menduga apa yang ada di pikiran Ares. Akan tetapi, sedapat mungkin aku tidak ingin mengiyakan praduga dalam hati. Dia menginginkan aku. Entah mengapa, aku merasa kebaikannya hanyalah sandiwara.
“Apa kau ingat, dulu kita pernah berjanji .... Aku dan kau ketika kita masih anak-anak, kau berkata teman sejati selalu kembali, teman sejati selalu memaafkan.”
Ingatanku kembali ke masa di mana aku dan Ares masih anak-anak. Dia adalah satu-satunya anak yang mau berteman denganku. Dahulu aku dijuluki anak gunung, anak orang gunung. Ya, karena keluargaku berasal dari Epirus.
Macedonia sendiri berada di antara gunung-gunung. Hampir di semua arah terdapat gunung yang seperti mengamankan wilayah Macedonia. Akan tetapi, sebutan orang gunung tidak pernah kudengar diperuntukkan bagi Macedonians.
Semenjak Raja Phillip memimpin, Macedonia menjadi salah satu kerajaan yang ditakuti. Macedonia yang hampir jatuh, telah bangkit dan menunjukkan kehebatannya dalam menaklukkan wilayah lain.
Ayah begitu mengagumi sosok Raja Phillip. Maka, dia akan selalu menceritakan kisah-kisah baru sang raja ketika pulang dari pasar raya.
“Demeter, apa kau di dalam?” Suara panggilan Ares membangunkanku. Malam sudah begitu larut, tetapi malam itu aku tidak dapat memejam.
Aku tahu Ares menunggu di luar pintu, tetapi aku justru menyelimutkan seluruh kain dan bersembunyi. Berharap dalam hati kantuk akan datang lebih cepat bila aku berada di kegelapan.
“Demeter, keluarlah. Aku tahu kau belum tidur.” Suara Ares berteriak lebih keras. Ayah pergi bersama teman-temannya, sementara Ibu dia pasti sudah tertidur.
Aku tidak takut keluar rumah di malam hari. Akan tetapi, aku masih kesal Ares mengingkari janjinya. Dia berkata akan mengajariku berhitung, maka aku menunggunya sampai hampir gelap di tempat biasa kami bermain. Namun, Ares tidak datang. Setelah itu, beberapa hari kemudian, aku tidak pernah lagi ke sana. Aku kesal sekaligus kecewa.