“Aku percaya padamu,” ucapku sungguh-sungguh. Betapa aku benar-benar mengandalkan dia, dan aku tahu dia mengetahui itu.
Laki-laki yang berdiri di depanku, sekilas mengangguk. Aku tidak bisa melihat jelas, sebab dia memunggungiku. Kami berdua bertemu secara diam-diam di tempat aman. Angin malam menerbangkan kain yang ujungnya tersampir di kedua bahunya.
“Kita sudah cukup lama mengenal. Mistress bisa mengandalkanku.” Dia menjawab, sebelum sedikit berbalik.
Kami bertemu pandang, lalu sama-sama mengalihkan pandangan ke arah lain. Benar, aku dan dia sudah cukup lama mengenal. Selama itu pula, dia belum pernah sekali pun membuatku kecewa.
Aku mengangguk, mengucapkan terima kasih. Dia menangkap ujung kain merah yang dia kenakan, menggenggam salah satu ujung dengan tangan kanan sambil menunduk memberi hormat. Menit berikutnya, dia pergi. Aku memandang punggungnya yang berbalut kain merah kebanggaan milik ayah laki-laki itu.
Dia adalah pembawa pesan kepercayanku, seorang Spartan. Aku tidak pernah berani bertanya apa yang membuat dia sampai berutang nyawa pada Macedonia. Kain merah tua yang dikenakannya adalah pertanda bahwa dia, atau ayahnya pernah menjadi bagian pasukan penting pasukan Sparta. Orang-orang Sparta membanggakan ciri pakaian mereka, termasuk Athenians yang begitu mengagungkan warna biru.
Aku menarik napas dalam dan panjang, mengembuskan perlahan sebelum mengambil jalan berlainan arah. Langkahku menjauh dari tempat pertemuan kami. Sekarang, setidaknya aku bisa sedikit lega. Dua hal akan kulakukan bersamaan, tentu dengan sedikit bantuan orang lain. Aku bisa menyusul Hephaestion dan pasukan dengan tenang.
Persiapan sudah selesai, aku dan rombongan berangkat. Malam telah menjelang, dengan begitu putraku tidak akan merasakan panas di awal perjalanan panjangnya.
Tidak ada perpisahan atau pelepasan khusus ketika kelompok kecil kami meninggalkan Issus. Satu pun dari anggota keluarga Raja Darius yang tersisa tiada muncul. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari mereka, tetapi sungguh mengecewakan melihat mereka yang menurutku terlalu congkak atas sikap baik Alexander.
Ibu, istri, dan anak-anak Raja Darius tetap diperlakukan seperti anggota kerajaan. Mereka hanya perlu menganggap Alexander menggantikan posisi Darius sebagai anak laki-laki, suami, dan juga seorang ayah. Setidaknya, menurutku keluarga Kerajaan Persia telah berhasil berpura-pura merasa menerima Alexander.
Keluarga Kerajaan Persia menolak berangkat bersama dengan kelompokku. Mereka beralasan akan mengadakan ritual keagamaan. Maka, mereka akan menyusul setelah semua urusan selesai. Sesungguhnya aku tidak terlalu peduli dengan ada atau tidaknya mereka. Ketika anak perempuan Raja Darius mengatakan gagasan itu di hadapan yang lain, tiada satu pun yang menanggapi, termasuk aku yang memilih diam.
Aku dan rombongan bersama dua orang pemandu jalan yang merupakan orang Persia, mengikuti arah di mana telah disebutkan oleh Hephaestion dalam suratnya untukku. Juga berdasarkan surat umum yang diberitakan kepada semua orang.
Kami menyusuri Sungai Nil, sampai akhirnya sampai ke Heliopolis.
Seorang pemuka agama menyambut ramah kedatangan kami. Katanya, mereka tahu akan ada kelompok Yunani yang menyusul, dan terdiri dari para perempuan dan beberapa penjaga.