The Storyteller, Macedonia

Yayuk Yuke Neza
Chapter #30

Dua Puluh Sembilan

Hephaestion beralih memandangku, tersenyum. Satu tangannya masih memegangi lenganku. Dia menjawab, “Karena aku mencintai Demeter. Aku mengagumi dia. Bukankah perempuan adalah tempat pulang?”

Aku membalas senyumnya. Sesuatu yang aneh menjalari hati, sesuatu yang membuatku ingin tersenyum sekaligus menangis bahagia. Aku sungguh bahagia. Setelah sekian lama aku bertanya-tanya, pengakuan itu muncul dari bibir Hephaestion sendiri tanpa perlu kuminta.

Sekarang aku berani menatap balik laki-laki yang telah merendahkanku itu. Ekspresinya tidak senang, lalu pergi meninggalkan kami. Hephaestion mengeratkan pegangan tangannya.

“Demeter, di mana aku bisa bertemu dengan anakku? Di mana dia sekarang? Siapa nama yang kau berikan padanya?”

“Dia ada di ….”

Kalimatku terhenti, sebab melihat Alexander berjalan mendekat ke arah kami. Aku menunduk untuk menyambutnya. Mengetahui perubahan sikapku, Hephaestion berbalik. “Selamat atas kemenangan Raja.”

“Aku tidak terkejut melihatmu di sini, Demeter.” Alexander menyapaku. Ya, aku yakin dia tidak terkejut. Dalam hati, aku menganggap perkataannya sebagai pujian.

Alexander menepuk-nepuk punggung Hephaestion. Tuan terlihat senang mendapat sentuhan yang seperti itu, ataukah tawa kecilnya sebab ada sesuatu lain penyebab kebahagiannya? Aku pun tidak tahu, juga buta harus dari mana mencari tahu.

Keduanya bergantian saling memuji, juga bercerita pengalaman selama bepergian dalam jumlah kecil meninggalkan pasukan besar di Memphis.

“Aku berpikir, kami akan mati kehausan di tengah gurun pasir,” Hephaestion memulai ceritanya, diselingi senyum yang terus mengembang, “sampai akhirnya kami melihat ada burung terbang ke salah satu arah.”

“Kami mengikuti burung itu, berharap dan menyimpulkan dengan begitu ceroboh si burung menuju tempat ditemukannya makanan dan tentu mengarah keberadaan air.” Alexander menyelesaikan cerita Tuan.

Mereka selalu begitu, aku sudah terbiasa dengan gaya berbicara yang saling menyahut. Hephaestion pernah mengatakan bahwa menurut Aristoteles seorang sahabat bisa membaca pikiran sahabatnya, sehingga mereka punya satu kesamaan dan kemiripan. Sahabat adalah sebuah bayangan.

Perjalanan mereka mencapai titik baik, ketika benar-benar menemukan sebuah oase di tengah gurun kering dan panas mematikan. Raja dan yang lain beristirahat untuk memulihkan tenaga, sebelum melanjutkan perjalanan untuk mencapai Siwa.

“Kau harus melihat kota itu, Demeter. Kalau kau mau, kau bisa mengambil bagian untuk tinggal di sana.” Alexander memberitahuku.

Tentu aku bahagia mendengarnya, meski mungkin undangan itu sebatas bualan di saat mabuk. Alexander mengisahkan dengan penuh kebanggaan sebuah daerah kosong yang diberi nama seperti namanya, yaitu Alexandria.

Alexandria adalah kota yang dibentuk dengan tujuan memberi keuntungan dalam perdagangan, pertukaran hasil bumi. Juga kota yang diharapkan dapat menjadi pusat peradaban, sentra pasar yang strategis bagi dunia. Alexandria berada di tepi Laut Mediterania, dekat dengan Laut Tengah. Daerah itu juga kabarnya memiliki kesuburan yang luar biasa.

“Kau tahu, Demeter. Kami tidak membawa apa pun untuk menandai batas wilayah. Terjadi perdebatan di antara kami.”

Lihat selengkapnya