“Hukum dia!” Hephaestion menunjuk Jace. “Dia sudah membunuh anakku!”
Jace menangis, meraung, dia bersujud di depanku. Aku memandang Hephaestion, dan anakku. Tubuhku seperti tidak dapat digerakkan. Kepalaku diserang pening, kebingungan. Bagaimana semua bisa terjadi ... bagaimana?!
“Penjaga, bawa dia!” Hephaestion berteriak lebih keras saat penjaga masuk. Mereka menyeret Jace.
Aku terduduk lemas. Anakku. Anakku yang bahkan belum pernah melihat ayahnya.
“Demeter. Demeter.” Tuan berlari mendekat, masih menggendong si kecil dalam pelukannya. “Kau tidak mengatakan dia sakit, Demeter? Apa dia sakit, Demeter?”
“Tidak, Tuan. Anak kita tidak sakit. Aku yakin dia tidak sakit. Dia kuat sepertimu. Dia sungguh kuat.”
Anakku, bahkan dia tetap sehat selama perjalanan jauh. Dia tidak sakit. Aku yakin dia sehat. Sebelum aku meninggalkan kamar beberapa waktu lalu, si kecil justru masih riang dan tidak memiliki gejala aneh apa pun.
“Aku mengatakan padanya, aku akan datang bersama Tuan.”
“Demeter. Sadarlah!” Suara terakhir Hephaestion yang kudengar.
Selama beberapa saat, aku seperti berada di kegelapan dan dingin. Tempat dalam kehidupan yang mana, aku tidak tahu. Yang pasti semua yang kualami dan kurasakan tidak asing. Aku pernah di sini sebelumnya, sesuatu telah menguatkan pemikiranku itu.
Samar-samar, kudengar tawa anak kecil. Tawa putraku, aku sungguh yakin. Suara itu memenuhi seluruh pendengaran, lama kelamaan semakin jelas dan jelas. Tiba-tiba di salah satu sudut, aku melihatnya. Putraku. Dia berjongkok, seperti memainkan sesuatu.
Hatiku yakin itu adalah dia, meski aku belum bisa melihat wajahnya. Dia membelakangiku. Langkahku menghampiri, memanggil-manggil berharap dia menoleh. Akan tetapi, tidak ada apa pun yang terjadi.
Anak kecil itu, yang kuyakini adalah anakku. Dia masih tetap pada posisinya semula. Seakan-akan aku sesuatu yang tidak terlihat. Tanpa sadar, aku telah berdiri tepat di belakangnya.
“Ibu!”
Aku melompat mundur. Wajahnya biru, matanya merah. Dia seperti menangis. Tidak, aku berusaha menolak bahwa dia adalah anakku. Putraku sungguh rupawan seperti ayahnya, dia tidak buruk rupa seperti itu.
“Demeter.” Hephaestion memanggil.
Begitu terjaga, aku melihat Tuan duduk di sampingku.
“Tuan, katakan padaku semua ini hanya mimpi. Katakan padaku, anak kita masih hidup. Katakan padaku, Tuan sudah menemuinya.”
Hephaestion memelukku. Dia tidak mengatakan apa pun selain mengeratkan lilitan tangannya. Hephaestion, apakah dia tidak merasa kehilangan? Apakah dia tidak merasakan cinta kasih seorang ayah pada anaknya? Tidak adakah kehilangan yang dia rasakan?