“Tidurlah, kau harus tidur.” Hephaestion menarikku dalam pelukannya. Kami tidur di tenda yang sama selama perjalanan.
Hephaestion tidak mengizinkan pelayan mendirikan tenda khusus untukku. Dia berpikir, aku sudah gila dan bisa kehilangan akal sehat kapan pun. Hephaestion mengatakannya dengan jujur dan terus terang. Aku sedikit tersinggung dengan sudut pandangnya, tetapi aku senang mengetahui dia mencemaskan diriku.
“Bagaimana caraku melupakan apa yang telah terjadi.” Aku mengeluh, merapatkan diri dalam rengkuhannya.
Malam bergerak. Di luar begitu dingin, bahkan suara angin bertiup terdengar seperti berada di atas tenda kami. Aku mencoba memejam. Bayangan satu peristiwa kembali datang, beberapa minggu lalu ....
Komandan yang telah meracuni anakku terpancang di tiang kayu. Kedua tangannya terikat ke belakang. Juga kakinya yang tertali pada kayu. Dia memohon ampun padaku. Sebelumnya, dia juga berlutut di kakiku memintaku mengasihani nyawanya.
Apa yang dia pikirkan? Lalu apa dia mengampuni nyawa anakku? Dia pasti sudah kehilangan akal.
Aku tidak mengatakan apa pun, juga tiada sedikit pun keinginan untuk mengampuninya. Nyawa dibalas nyawa.
Alexander terdiam sesaat, ketika Hephaestion mengakui aku sebagai ibu dari anaknya. Aku melihat ada perubahan ekspresi, yang tidak kuartikan apa artinya. Tak lama kemudian, Alexander mengibaskan tangan.
Isyarat dari Raja sudah cukup membuat kami semua tahu bahwa dia memberikan izinnya. Hephaestion menyeret komandan yang telah mengejekku. Juga dengan kejamnya, komandan membunuh anakku yang tidak bersalah. Tuan dibantu oleh beberapa orang untuk menyiapkan eksekusi.
“Katakan, Demeter. Bagaimana kau ingin membunuhnya?” Hephaestion berbisik, tanpa memandang padaku yang berdiri di sebelahnya.
“Aku ingin menusuknya dengan sarissa. Aku menunggu izin, Tuan.”
Sekilas, aku melihat Ares berada di antara kerumunan prajurit yang menonton eksekusi. Dia menyibak kerumunan, lalu berdiri di bagian depan. Aku dapat melihatnya dengan jelas sekarang, tentu dia pun begitu. Dengan sadar, aku melingkarkan tanganku di lengan Hephaestion. Aku ingin menegaskan, bahwa aku sekarang milik Tuan. Juga, aku memiliki Tuan di sisiku. Ada atau tidaknya Hephaestion, tiada berbeda atau mengubah apa pun.
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan.”
Perintah Hephaestion terdengar oleh banyak orang. Tak lama kemudian satu prajurit mendekat, menyerahkan sarissa padaku. Aku menerima lembing panjang itu. Ketika aku mengambil posisi bersiap, kerumunan di sekitarku menjauh.
Dalam hati aku berhitung, satu, dua, tiga. Lempar.
Bidikanku tepat mengenai perut komandan itu. Dia berteriak, mengerang. Dari sudut bibirnya mengalir darah, juga luka di perut kanannya yang masih tertancap sarissa.
“Biarkan dia mati. Jangan berikan kematian seorang prajurit padanya.” Aku memberi tahu sebelum berbalik pada Hephaestion. Kami langsung pergi.