“Aku telah terikat janji dengan Tuan Hephaestion.” Aku menjawab, membalas isyaratnya tentang betapa penting menepati janji. “Maafkan penolakanku. Aku harus pergi.”
Aku mundur, berbalik lalu melangkah pergi tanpa menunggu tanggapan Alexander. Bagaimana mungkin akan bisa menemaninya. Tidak akan. Aku tidak mau dianggap sebagai pengkhianat, perempuan yang tidak setia pada tuannya.
Tanpa sadar air mata mengalir. Aku tidak dapat menutupi sakit hati. Sebab, aku menghormati Alexander, memandangnya sebagai seseorang yang begitu agung dan bijaksana.
Sungguh dusta bila aku tidak bahagia mendengar undangannya. Atas dasar apa pun itu, dia sungguh tertarik padaku atau hanya ingin membuang waktunya. Alasan Alexander tidaklah penting, bila dibandingkan fakta bahwa dia ingin bersamaku. Akan tetapi, aku kecewa sebab dia tidak memikirkan apa yang akan terjadi antara aku dan Hephaestion. Seandainya ....
Bukan, bukan begitu ... tetapi, semestinya Alexander menjagaku seperti dia menjaga persahabatannya dengan Hephaestion. Merayuku di saat Hephaestion tidak ada adalah sesuatu yang memalukan. Lebih baik aku mati, bila harus menanggung malu dari satu sikap hina.
“Mistress. Aku mencarimu.” Callia memanggilku dari kejauhan. Dia berlari mendekat.
“Katakan! Ada apa?” Aku bertanya, sementara dia masih mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Pasukan sudah kembali. Apakah Mistress tidak ingin menyambut, Tuan? Ayo, pergi, Mistress. Kita tidak boleh terlambat.”
Benarkah pasukan sudah kembali? Tuan, apakah dia juga kembali dengan selamat? Benar yang Callia katakan, aku harus menyambut.
Callia mengangguk, tampak menunggu jawabanku. Tentu aku tidak menolak. Refleks aku menggandeng tangannya, kami berjalan cepat. Kadang sedikit berlari ketika jalanan di sekitar tenda yang kami lewati lengang.
Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar pasukan berkuda. Aku mendorong Callia ke tepian agar tidak tertabrak oleh salah satu dari mereka. Itu … Alexander dan para pengawal pribadinya.
“Kau tidak apa-apa, Callia?”
Aku bertanya, setelah semua rombongan lewat. Yang tersisa hanyalah kepulan debu mengudara. Callia mengangguk, tetapi kemudian menggeleng.
Callia tersenyum sedikit, setelah sekian lama bersikap dingin padaku. Aku tidak mengatakan apa pun. Kutarik lengannya agar berlari lagi. Seandainya bisa, aku ingin menjadi orang pertama yang menyambut Tuan. Dia pasti kembali bersama pasukan yang lain, aku harus yakin.
Ketika kami sampai di ujung jalan masuk ke perkemahan, semua orang berdiri di tepian. Aku melihat Alexander dan beberapa orang terdekatnya menghalangi akses masuk, mereka akan memberi salam terlebih dahulu. Bagaimana caraku bisa mendekat, atau tepat di belakang mereka tanpa diusir pergi.
“Mistress, lewat sini.” Callia sekarang menarik lenganku.
Kami menerobos, menyibak kerumunan. Sampai akhirnya, aku bisa berdiri di barisan depan dekat dengan tempat Raja.