Alexander langsung berbalik setelah menghinaku dengan cara halus. Aku mungkin tidak terlalu layak, juga jauh dari pantas untuk mendampingi Hephaestion. Akan tetapi, sesuai janjiku. Satu orang pun tidak akan ada yang bisa menggantikanku sebagai kekasih Tuan. Sekarang, besok, atau selamanya. Aku ingin hanya ada aku seorang.
“Demeter, aku harus pergi.” Ucapan Hephaestion mengembalikna kesadaranku dari amarah dalam dada.
“Pergilah, Tuan. Aku akan menunggumu bila kau memintanya.” Aku tersenyum, tidak ingin membuat Tuan kecewa atas sikapku.
Sungguh aku berkata jujur, akan menunggu sampai kapan pun bila memang harus demikian. Hephaestion membalas senyum.
“Kenapa kau harus menungguku. Gantilah pakaianmu. Lalu datanglah ke balairung. Aku ingin kau juga merayakan kemenangan bersamaku.”
Aku memberi hormat, lalu pergi bersama Callia. Dalam perjalanan, aku memberi tahu Callia apa yang harus dia siapkan. Pakaian terbaik, wewangian, juga air untukku membersihkan diri.
Callia menjawab dengan anggukan. Tiada pertanyaan yang diajukan. Dia sudah lama menjadi pelayan pribadi. Maka, Callia tahu benar apa yang semestinya dilakukan.
Sampai di tenda, aku segera melepas pakaian yang kukenakan. Setelah semua siap, Callia memberi tahu dan aku segera pergi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Callia memiliki tugas lain, memilihkan gaun terbaik dari dalam kotak pakaianku.
“Mistress, apa kau suka warna biru ini?” Callia menaikkan satu tangannya yang memegang kain panjang warna biru pucat. Sedangkan tangan yang lain membawa kain warna putih.
Para perempuan keturunan bangsawan biasanya lebih senang mengenakan warna putih, kemudian menutup bagian bahu dengan kain sutra berwarna emas. Aku sungguh tahu dari mana berasal, aku bukan keturunan bangsawan. Pilihanku jatuh pada warna biru.
Usai membantuku berpakaian, Callia mengambil pengikat rambut lalu menggiringku agar duduk di kursi rias. Callia lebih sering mengurus rambutku dibandingkan denganku sendiri.
“Mistress, apa aku boleh bertanya?”
“Katakan.” Aku sedikit menoleh, agar dia tidak merasa takut.
“Mistress akan menyusul, Tuan?”
“Kau sudah tahu jawabanku, Callia. Katakan yang sesungguhnya, apa yang ingin kau ketahui.”
“Aku melihat Tuan begitu menaruh hati pada Mistress. Juga Mistress pada Tuan.”
Aku tertawa kecil mendengarnya. Akan tetapi, masih menunggu apa yang ingin Callia katakan selanjutnya.
“Mistress sungguh tidak apa-apa, seandainya Tuan menikah dengan perempuan lain? Aku tidak sanggup membayangkannya, Mistress. Itu terdengar seperti mimpi buruk.”
“Mencintai tidak selamanya akan bersama, Callia.”
Dusta, sebab aku tidak meyakini kalimat itu. Mustahil seseorang dapat merelakan orang yang dicintainya bersama yang lain. Untuk apa memiliki cinta tanpa sebuah balasan. Tentu pandangan itu hanya ada dalam kepalaku, dan aku tidak berniat membaginya dengan Callia.