Kalimat Hephaestion terdengar seperti sambaran petir di atas kepalaku. Setelah semua yang kulakukan untuknya, bertaruh nyawa melahirkan keturunannya. Juga dengan bodoh mengikuti dia, sementara aku bisa tetap tinggal di Pella. Meski aku tidak tinggal di istana seandainya memilih kembali, itu tidak mengubah kenyataan bahwa aku telah meninggalkan kehidupan yang lebih mudah.
Aku mencintai Tuan, sungguh mencintainya. Tidakkah Hephaestion bisa membelaku? Tidakkah dia bisa membuatku merasa diinginkan dan dilindungi? Meski hanya satu kali. Aku ingin Tuan melakukannya.
Air mataku merebak, tak ingin kubendung alirannya. Biarlah Hephaestion tahu, betapa aku terluka.
“Pergilah ke tendaku. Tunggulah di sana,” perintahnya sebelum meninggalkanku berdiri seperti orang bodoh di depan tenda pertemuan.
Langkah Hephaestion menuju arah pergi Alexander. Rasanya aku ingin menertawakan diri, sungguh, aku benar-benar bodoh.
Kebodohan lain yang telah kuperbuat ialah berpikir Hephaestion akan menepati janji. Aku pergi ke tendanya tanpa sedikit pun curiga. Kenyataannya, janji itu tinggallah janji, sebab Tuan tidak pernah datang sampai hari keberangkatan tiba. Bahkan, dia hanya tersenyum dari kejauhan saat aku menyusul untuk memberikan ucapan selamat jalan. Dia tidak menghampiri, mengingat semua itu membuatku merasa terbuang.
“Mistress,” Callia mengusap punggungku, sementara aku tiada berniat menoleh padanya, “aku membawakan makanan untuk Mistress. Makanlah.”
“Aku tidak ingin makan, Callia.” Selera makanku menguap bersama perginya Hephaestion dan luka-luka yang dia tinggalkan.
“Mistress, aku tahu, lancang mengatakan ini. Tetapi, sungguh menyiksa tubuh dengan tidak makan adalah salah satu cara bunuh diri perlahan. Mistress, tahu, bukan? Bunuh diri, sebuah kesalahan yang tidak termaafkan.”
“Aku tahu, Callia, tapi aku tidak ingin makan. Aku bahkan bertanya-tanya untuk apa aku masih di sini?”
Aku berbalik. Callia memandangku dengan sorot mata tajam. Sesaat kemudian, dia menunduk, mengatakan maaf karena telah berani menatapku seperti yang baru dia lakukan. Aku tidak marah atas sikapnya.
“Tuan mungkin sudah bosan padaku, Callia.” Aku mengaku pada akhirnya. Kuungkap dengan berat hati di depan Callia, prasangka juga pikiran buruk yang menghantuiku siang dan malam.
“Apa Tuan akan menikah?” Callia lagi-lagi segera menunduk. “Maaf, Mistress. Aku hanya tidak mengerti.”
Sebelum menjawab pertanyaan Callia, aku menghela-embuskan napas beberapa kali. Semampu mungkin, aku berusaha meredam gejolak dalam dada, dentam-dentam menyakitkan yang membuatku ingin berteriak.Aku ingin meluapkan semua kekesalan yang terpendam. Akan tetapi, bagaimana dan apa yang harus kulakukan.
Langkahku menjauh dari kain tirai kecil yang berfungsi sebagai jendela tenda. Aku duduk di tepian tempat tidur. Callia pun berbalik, mengikuti lalu berdiri di sampingku.
“Yang terjadi antara aku dan Tuan lebih buruk dari sekadar kemungkinan dia akan segera menikah. Bahkan, lebih buruk dari kemungkinan dia memiliki simpanan lain yang lebih cantik dan lebih muda dariku.”
“Maaf, Mistress. Aku tidak berniat membuat Mistress bersedih.”
“Bukan salahmu, Callia. Aku hanya merasa, Tuan mulai menjauhiku. Entah mengapa, aku berpikir Tuan melakukannya dengan sengaja.”