Para penjaga yang diperintahkan Alexander benar-benar tidak bergerak menjauh dariku. Mereka selalu berada dekat, bahkan menggantikan prajurit penjaga di depan pintu tenda yang bertugas sebelumnya. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa hari, rombongan kami sampai di Babylon.
Babylon, sebuah kota yang begitu indah. Di sekeliling terdapat tembok tinggi yang melindungi seluruh kota. Batu-batu bahan bangunan tampak kuat, dipotong memanjang dengan ukuran yang rapi. Babylon tampak seperti gambaran dunia atas, tempat tinggal para dewa.
Sungguh sulit mencari kata yang tepat untuk menggambarkan istana dan taman Babylon. Di tembok-tembok istana, pintu masuk, juga hiasan-hiasan, hampir semuanya terdapat gambar burung. Selain burung, banteng, dan singa, ada juga relief bergambar manusia berkepala hewan. Aku menduga-duga apakah mereka bentuk perwujudan dewa yang dimiliki oleh Persia? Ataukah gambar-gambar itu menceritakan sesuatu tentang nenek moyang bangsa Persia?
Andai aku nanti berjumpa lagi dengan Aristoteles atau cendekia lain, ingin sekali kutanyakan semua tentang apa yang kulihat di Babylon.
Taman Babylon, taman terindah yang pernah ada. Aku tidak bisa berhenti mengagumi setiap sudut taman yang letaknya lebih tinggi dari bagian istana lain. Ketika pertama kali aku berada di taman, dari tepinya aku dapat melihat keseluruhan kota.
Sungguh sesuatu yang rasanya seperti mimpi. Terdengar burung-burung bernyanyi. Taman dipenuhi pelayan-pelayan khusus yang hanya bertugas merawat taman, mereka tidak keluar untuk melayani bagian istana lain. Bagian yang paling disenangi semua orang, terutama para laki-laki ialah pusat taman, area terbuka untuk melakukan apa pun.
Terdapat pohon-pohon kecil di pusat taman, bunga-bunga harum yang tertata letaknya. Air mancur yang menyenangkan. Tepat di bagian tengah, terdapat area luas untuk menampilkan hiburan, tari-tarian, nyanyian. Mereka, para perempuan, pelayan, aku tidak tahu bagaimana harus menyebutnya. Mereka mau melayani siapa pun, di tempat itu.
Bangsa Yunani bagiku sudah cukup mengerikan dengan rendahnya derajat perempuan dalam peraturan lama. Bagaimana perlakuan pada perempuan tidak terlalu baik, apalagi menyenangkan. Aku tidak terkejut dengan perempuan penjual jasa di Yunani yang begitu terang-terangan dan tidak tahu malu. Bagiku, semua itu sudah benar-benar mengganggu.
Kemudian yang kulihat di Babylon, jauh lebih mengejutkan dari apa yang bisa kubayangkan. Aku seperti tiada menemukan lagi rasa malu di antara mereka, para perempuan di taman Babylon.
“Mistress. Apa aku mengganggu?”
Pertanyaan seseorang membuatku tersadar tengah berada di mana. Aku menoleh, tersenyum. Perlahan aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan yang dia ajukan. Aku pun berbalik, melangkah menjauhi jendela kamar, lalu berhenti di dekat meja tempatku menulis.
“Katakan ada apa, Callia?”
Callia sudah berdiri di sebelahku, mengangguk dengan sedikit menekuk kakinya. Tak lama kemudian dia menengadah.
“Raja menunggu Mistress di taman.”
Sejenak aku berhenti mengemasi perlengkapan menulis. Berpikir, apa yang Alexander inginkan sebenarnya. Aku sungguh kesulitan memahami. Sudah satu minggu lamanya aku berada di Babylon. Satu pun dari keduanya, Alexander atau Hephaestion tiada yang menemuiku. Setibanya aku di Babylon, hanya disambut oleh seorang komandan lalu diberi tahu tempatku harus beristirahat.