“Demeter. Aku sudah mengatur pertemuanmu dengan pemimpin kuil.”
Aku memejam mengingat kata-kata Hephaestion saat memasuki ruangan khusus dalam kuil. Sungguh menyakitkan, mengetahui bahwa dia yang mengatur gagasan gila itu. Luka yang dia berikan, lebih perih buruk dibandingkan rasanya patah hati atau cemburu. Aku tidak mengerti, mengapa dia begitu tega. Namun, aku tidak memiliki pilihan untuk menolak.
Terpaksa aku menurut. Perlahan, langkahku memasuki kuil, tiada apa pun di dalamnya. Selain alas kain tebal, orang-orang Persia menyebutnya karpet. Aku duduk, menunggu seorang laki-laki tertarik dan mau membayarku. Laki-laki itu, tidak lain adalah Alexander.
Sungguh aku merasa tidak ada bedanya dengan pelacur yang menjajakan diri demi sebuah keyakinan yang tidak dapat aku mengerti. Apa yang kupersembahkan, apa dewa-dewa orang-orang asing di Babylon akan menikmati menyaksikan hubungan perempuan yang merelakan dirinya. Semakin jauh aku mencoba memahami, justru kebuntuan tampak kian nyata di depan mataku.
Ritual yang kujalani, menurutku hanyalah contoh lain dari praktik jual beli belaka. Tiada ubahnya pelacuran yang diperbolehkan.
Aku menunduk, memandangi tubuhku yang hanya mengenakan kain putih tipis. Mereka, para pelayan yang tidak mau atau tidak bisa bicara itu memandikanku dengan air bunga-bunga. Lalu memakaikan wewangian khusus. Mereka bahkan tidak mendengarkan ketika aku meminta Callia mengurus semua keperluanku. Para pemimpin kuil berkata, bahwa pekerjaan mempersiapkan perempuan persembahan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang terpilih.
Refleks, aku menengadah ketika mendengar suara langkah kaki. Dari pintu kayu yang berbeda muncul Alexander. Dia bertelanjang dada. Tangan kanannya terangkat ketika aku hendak menunduk.
“Kau tidak perlu memandangku sebagai raja.”
Aku terkejut mendengar permintaan itu.
“Bangunlah.”
Perlahan aku berdiri sambil membenahi kain yang tidak menutupi sebagian kaki, sebab bahannya terdiri dari potongan-potongan panjang. Andai aku berada di tempat terbuka, kain sekenanya yang melekat di tubuhku pasti akan berkibar dan fungsinya sebagai pakaian tidak terpenuhi.
Alexander merengkuh pinggangku sesaat setelah aku berdiri tegak. Dia menarikku dalam pelukannya, begitu dekat sampai aku bisa merasakan hangat napasnya menyapu telingaku.
“Kau sungguh cantik, Demeter.” Alexander berbisik. “Kau milikku sekarang.”
Kalimat terakhir yang dia ucapkan, sebelum akhirnya Alexander benar-benar memilikiku.
Tidak. Aku tidak boleh terus memikirkannya. Bagaimanapun apa yang terjadi antara aku dan dia hanyalah sebatas perintah. Dia tidak mungkin bersungguh-sungguh mengatakannya. Juga apa yang telah dia minta, aku merasa itu hanya rasa iri dan ingin merasakan seperti apa milik Hephaestion. Tidak ubahnya seperti anak laki-laki yang meminjam mainan sahabatnya.
Peristiwa itu terjadi berhari-hari yang lalu, tetapi sulit bagiku untuk menyingkirkannya dari angan.
“Mistress, maafkan aku. Aku harus menyampaikan pesan ini.” Seorang prajurit mengetuk pintu kereta.
Aku menyibak tirai yang terbuat dari batu-batu bulat untuk bisa meraih benda yang prajurit ulurkan. Seperti surat. Aku buru-buru menyelipkannya dalam pakaian setelah mengamati sekeliling. Firasatku mengatakan surat itu, benda penting yang tidak bisa diketahui oleh orang lain.