The Storyteller, Macedonia

Yayuk Yuke Neza
Chapter #41

Empat Puluh

Para penyerang menghujaniku dan rombongan dengan anak panah. Kami berhasil menghindar. Akan tetapi, salah satu di antara kuda kami terkena lesatan, tumbang dan meringkik kesakitan.

Tidak salah lagi. Mereka prajurit terlatih. Hanya ada dua kemungkinan, mereka penyusup atau pengkhianat. Pemanah, aku tahu siapa-siapa pemimpin pasukan pemanah.

Aku menoleh ke samping, menyadari tiada satu pun pemanah bersamaku. Perlawanan yang tidak seimbang. Satu-satunya cara untuk menghadapi mereka adalah dengan pertarungan jarak dekat. Aku memacu kuda, menerjang debu dan daun kering beterbangan menghalangi pandangan.

Jantungku berdentam tak beraturan. Seorang komandan berteriak agar aku lebih baik berhenti. Dia berkata supaya aku lebih aman. Apa maksudnya, dia pikir aku lemah dan tidak bisa bertarung. Aku tersenyum, meluruskan pandangan pada musuh di depan sana. Sedikit pun aku tidak memedulikan saran dari komandan itu.

Akhirnya, salah seorang berhasil mengejar para penyerang. Laki-laki dan kudanya yang pemberani menendang musuh hingga jatuh terjungkal. Kuda musuh tidak terluka, hewan itu bangun lalu berlari tak tentu arah. Dua penyerang lain tampak panik, mereka berhenti sesaat memandangi teman mereka.

Kesempatan kami untuk menyusul. Tak perlu waktu lama, mereka bertiga terkepung. Satu dari ketiganya tergeletak di tanah, lalu dia bangun dan mengambil posisi melawan. Dua penyerang lain pun turun dari kuda, mereka bertiga beradu punggung, membentuk formasi bertahan.

Aku dan bala bantuan terdiri lebih dari sepuluh orang. Para penyerang itu jelas kalah dalam jumlah.

“Katakan siapa kalian? Atau kalian tidak akan punya kesempatan bicara?” Salah satu komandan memberi perintah, tetapi kalimatnya justru dijawab dengan gelak tawa.

“Kalian bodoh. Apa yang kalian pikirkan sampai tunduk pada perempuan gunung itu? Mistress Demeter.”

Aku ditunjuk. Pandangan semua orang beralih padaku. Debar di dada semakin menyesakkan sampai rasanya aku kesulitan menghirup udara.

“Kenapa kau diam, perempuan Epirus yang menguasai ilmu sihir?” Salah seorang penyerang lain bertanya dengan nada menuduh.

“Aku tidak mengerti yang dia katakan. Kalian menuduhku penyihir, kalian tidak punya bukti untuk fitnah keji itu.” Aku menantang.

Demi Dewa, aku tidak bermaksud mengingkari asal-usulku. Akan tetapi, aku menolak disebut sebagai ahli ilmu sihir. Aku memang berasal dari luar Macedonia, tetapi Epirus tetaplah bagian dari Yunani. Bahkan, ibu Alexander lahir di Epirus dan merupakan keturunan bangsawan di sana.

“Mengapa kalian memandangku seperti itu? Adili mereka yang telah merencanakan penyerangan padaku! Atau kalian akan berakhir dengan hukuman mati, karena mengabaikanku, Mistress baru Raja Alexander.”

Untuk pertama kali seumur hidup, aku berani bersikap congkak dan bangga. Dengan kepercayaan diri penuh, aku menyatakan kekuatan dan pengaruh yang kumiliki. Kilas bayangan sentuhan Alexander membuat aliran darahku berdesir, seperti ada sesuatu yang membakar semangatku.

Para komandan dan prajurit yang bersamaku seperti tersadar tengah bicara dengan siapa. Satu dari mereka turun dari tunggangan dan diikuti yang lainnya, sedangkan aku tetap duduk di punggung kuda.

Lihat selengkapnya