Callia mengembuskan napas terakhir setelah memanggilku, adik. Aku sungguh tidak percaya, menolak memahami semua sebagai kenyataan.
Mungkinkah Callia kakakku? Atau dia mengatakan itu sebab menyayangiku sebagai adiknya?
Kemungkinan kedua lebih masuk akal untuk menjawab pertanyaan dalam kepala. Akan tetapi, Callia mengatakan Ayah kita. Ayah kita, yang artinya ayahku dan ayahnya. Ayah yang sama.
“Demeter,” suara dari arah belakang membuatku berbalik, “kau baru sampai. Apa yang mendesak, sampai kau ingin bertemu secepatnya?”
Tamuku yang datang ialah Alexander. Tentu bersama Hephaestion. Aku membungkuk singkat untuk memberi hormat, sekilas tatapanku bertemu dengan Tuan. Dia menampakkan ekspresi datar dan tenang. Aku memaki dalam hati, apa yang kuharapkan. Bodoh sekali. Semestinya aku mengenyahkan jauh-jauh pengharapan tentang perubahan sikap dari Hephaestion.
Pandanganku kembali terpusat pada Alexander. Aku tersenyum sebaik mungkin sebelum memberinya jawaban.
“Seseorang atau mungkin sekelompok orang mencoba membunuhku.”
Alexander menautkan alis. Raut wajahnya tidak percaya. Kemudian, dia menoleh pada Hephaestion, mereka bertukar pandangan tanpa kata. Dalam situasi sulit dan pelik, aku selalu berandai bisa membaca pikiran salah satu atau mereka berdua. Sungguh menyebalkan melihat interaksi tanpa kata yang tidak dapat kutafsirkan.
Alexander kembali menatapku, tangan kanannya menengadah menyilakan aku untuk berjalan. Kami menuju tepi pelataran, kemudian berhenti di balkon. Angin dengan suhu panas datang menerpa. Cuaca sering tidak menentu. Kondisi alam yang buruk, membuat sebagian pasukan terserang penyakit aneh. Kabar kurang menyenangkan itu menyambut kedatanganku di Susa.
“Katakan apa yang terjadi.” Hephaestion bicara.
Aku hampir memekik mendengar suaranya lagi setelah sekian lama di antara kami hanya ada kebisuan. Senang, sedih, kecewa, dan banyak lagi perasaan yang merayapi hatiku setiap kali berhadapan dengan Hephaestion. Aku dan dia pernah sedekat kekasih, meleburkan cinta kami bersama.
Ikatan itu terputus, hancur, bahkan seperti tiada lagi puing-puingnya yang bisa kami gunakan untuk membangun kembali. Meski begitu, sampai Dewa kematian datang menjemput aku bersumpah tidak akan ada yang bisa menggantikan Tuan.
“Katakan, Demeter.” Alexander mengulangi perintah Hephaestion.
Aku tersadar dari lamunan. Mengalirlah ceritaku, tentang apa yang telah terjadi. Dari mana semua berawal, dan aku memberikan ciri-ciri fisik para penyerang yang telah merenggut nyawa Callia.
“Aku akan membalaskan kematian Callia. Demi Dewa, aku tidak bisa memaafkan siapa pun mereka yang menghilangkan nyawa tak berdosa. Selain itu, aku tidak ingin Callia mati sia-sia. Dia telah menyelamatkan nyawaku.” Aku bertekad.
“Kau tidak bisa mengadili siapa pun tanpa bukti, Demeter. Kau membutuhkan izin dariku.” Alexander menyelaku. Aku melihatnya menghela napas dalam.
“Aku di sini meminta izin darimu, Raja Alexander.”