The Storyteller, Macedonia

Yayuk Yuke Neza
Chapter #44

Empat Puluh Tiga

Garis horizontal Barat Daya, menurutku artinya menjelang matahari terbenam. Aku berangkat pagi hari, meninggalkan rombongan dengan ditemani seorang penjaga yang setia. Aku akan menyuruhnya menunggu di bawah lereng, sementara aku naik sendirian dengan menunggang kuda.

Puncak bukit tertinggi, tertutup salju cukup tebal. Aku yakin tujuanku sudah benar, sebab tidak ada salju tipis di perbukitan, semuanya berselimut salju. Bahkan, untuk bukit yang paling rendah. Sepanjang perjalanan, aku hanya berhenti untuk makan dan minum. Prajurit yang menemaniku pun tidak mengatakan sesuatu.

Untuk menutup kecurigaan, aku mengatakan padanya bahwa aku ingin melihat pertempuran yang terjadi di perbatasan Persepolis. Aku yakin mereka sudah sampai di medan perang.

Dalam hati, aku terus berdoa semoga pertempuran dengan orang-orang Persia itu tidak memakan waktu lama. Alexander memutuskan membawa pasukan terbaiknya, dengan pertimbangan pasukan Persia yang tersisa tidak mungkin banyak. Jumlah pasukan Persia diyakini hanya sebagian kecil telah terlatih, sementara sisanya adalah budak dan petani yang terpaksa turun ke medan perang.

Aku mengenakan pakaian tertutup, untuk menyamarkan penampilan aku pun memakai kain penutup kepala.

“Kau akhirnya datang, Mistress Demeter.” Seseorang menyambut ketika aku baru menginjakkan kaki di puncak bukit.

Jalanan yang tertutup salju menyulitkan langkah. Matahari sudah tinggal tampak separuh. Sejenak, aku terdiam, mencoba mengenali suara itu. Suara yang tidak asing, aku pernah mendengarnya tidak hanya sekali.

Seseorang yang memunggungiku, apakah dia pula yang mengirimkan surat dan benda ... di mana aku menyimpannya? Buru-buru aku mencari-cari benda kalung benang berwarna hitam dengan hiasan batu permata berwarna biru. Batu yang sungguh cantik, memesona meski bentuknya hanya berupa bulatan kecil.

“Apa aku mengenalmu?” tanyaku setelah menemukan benda yang kucari.

“Kau seharusnya tidak menanyakan hal itu.”

Dia berbalik.

Aku terkejut. Seluruh tubuhku membeku. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi tiada satu kata pun keluar. Dia, benarkah apa yang kulihat? Aku menggeleng, berusaha mencerna keadaan.

“Kau mencariku, bukan?” Dia bergerak menghampiriku.

Ayah.

“Tetap di tempatmu, Mistress Demeter.” Ayah menaikkan tangan kanan, mencegah langkahku yang baru maju satu pijak.

Mengapa ... aku hanya ingin memeluk.

“Kau akan berkhianat ketika mengakuiku sebagai ayah. Berhentilah. Tetap di tempatmu.”

Lihat selengkapnya