The Storyteller, Macedonia

Yayuk Yuke Neza
Chapter #47

Empat Puluh Enam

Semua orang yang bersama Alexander memutar arah. Mereka semua pergi, termasuk aku. Langkahku setengah berlari untuk mengimbangi jejak kaki para laki-laki. Sampainya aku di luar balairung utama, tempat yang kutuju satu-satunya adalah ruangan pribadiku.

Aku buru-buru masuk, memerintahkan beberapa pelayan dan penjaga untuk mengemasi barangku. Cukup membawa benda yang penting, sisanya aku tidak peduli. Lembar-lembar catatan adalah yang paling berharga, aku akan membawa sendiri kotak penyimpanannya nanti.

Seorang pelayan mendekat, berkata semua sudah siap. Dia juga bertanya, apakah mereka akan diperintahkan untuk ikut bersamaku. Aku tidak menjawab, belum memutuskan harus mengajak mereka atau pergi sendiri. Akan tetapi, aku butuh bantuan untuk bisa meloloskan diri dari pantauan banyak orang.

Aku tidak mau membahayakan siapa pun, tetapi aku tidak dapat melakukan pelarian sendiri. Ayah. Mungkin lebih baik aku mengirim surat pada Ayah, dia mungkin akan membantuku.

Dengan gerakan tangan, aku memerintahkan semua pelayan untuk pergi. Pembawa pesan kepercayaanku, aku harus mengajaknya. Pertama, yang perlu kulakukan adalah memberi tahu dia tentang keadaanku. Dia akan berguna untukku.

Ares. Tiba-tiba ingatanku tertuju padanya. Sudah beberapa waktu aku tidak melihat Ares. Di mana dia, ataukah dia sudah tiada? Andai aku bisa percaya padanya. Andai ucapannya untuk membalas budi bisa kupegang. Mustahil!

Aku menggeleng, memperingatkan diri sendiri. Ares, dia seorang pendusta ulung.

Aku memanggil seorang penjaga. Dia masuk, menunduk hormat dan seperti hendak bersujud padaku. Budak Persia. Kebiasaan mereka sungguh mengejutkan. Aku segera memintanya bangun, dia tidak perlu melakukan itu di depanku. Padanya, kuberikan selembar kain kecil berisi tulisan. Sebagai upah, kuberikan beberapa keping koin emas.

Penjaga itu memandangi tangannya cukup lama. Aku bertanya, apa yang dia pikirkan. Tiada jawaban selain gelengan. Aku memerintah dia untuk segera keluar kamar, dia harus menemui seseorang di antara banyaknya pasukan Macedonia. Lalu dia harus menyerahkan kain dariku, Mistress Demeter.

Aku menutup pintu rapat, menguncinya dari dalam setelah penjaga itu pergi. Yang bisa kulakukan adalah menunggu, menunggu sampai orang kepercayaanku tiba, juga menunggu malam menjelang.

Sepanjang sisa hari, aku berjalan-jalan di dalam kamar. Gelisah. Aku belum pernah melihat kemarahan Alexander secara langsung. Dia cukup baik dan menyenangkan di mataku. Aku tidak mampu menampik pesonanya, menyukai perlakuannya. Meski begitu, dia tetaplah tidak bisa menggantikan Hephaestion.

Dari kejauhan terdengar jeritan melengking, aku semakin takut. Penjarahan telah dimulai, suara-suara jeritan lainnya menyusul. Para istri, anak-anak perempuan, bahkan laki-laki. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi pada penduduk setempat.

Bayangan kekacauan di Thebes bermain-main di mata. Ingatanku berlari ke masa lalu, kota itu hancur tak bersisa. Lalu Tyre yang memiliki nasib sama menyedihkannya. Persepolis, kemungkinan-kemungkinan buruk datang silih berganti. Persepolis pasti akan menjadi bukti kehancuran berikutnya ....

Dari kejauhan ada suara ledakan. Aku mendekati jendela untuk melihat apa yang terjadi. Sebuah kepulan asap tebal naik ke angkasa, disusul oleh teriakan-teriakan panik, marah, memohon. Aku tidak sanggup melihat semuanya. Aku tidak bisa.

Malam lekaslah tiba, aku memohon pada Dewa setelah sekian waktu melupakannya. Bila langit mulai menggelap, lalu ternyata pembawa pesan kepercayaanku tidak datang aku akan tetap pergi. Benar apa yang Hephaestion katakan, aku harus pergi. Semua kemurkaan Alexander, mungkin ada hubungannya denganku.

Sungguh ganjil bila dirunut. Sebelumnya, Alexander sudah begitu berbaik hati dengan tidak menyerang penduduk asli. Kami disambut, dan menerima serangkaian pesta meriah sebagai tanda penyerahan Persepolis. Betapa anehnya, dalam sekejap Alexander membuat keputusan untuk menjarah kota. Menghancurkannya.

Aku menggigiti bibir, waktu terasa melambat. Atau justru tidak bergerak. Betapa lamanya menunggu matahari terbenam.

Ketukan pintu mengejutkanku hingga berjingkat. Suara itu terulang, beberapa kali. Akan tetapi, tidak ada suara memanggil. Siapa di sana, sungguh mencurigakan.

Lihat selengkapnya