“Aku tidak akan memaafkanmu yang telah mengkhianatiku, Demeter.”
Alexander mencekik leherku.
Hal yang tak terduga terjadi, aku tidak menangis atau memohon pengampunan. Sebaliknya, ingatanku berlari mengejar kenangan apa yang telah terjadi antara aku dan Hephaestion. Dia pernah begitu marah, hampir membuat nyawaku melayang saat mengetahui aku telah membunuh calon bayinya.
Tuan mencekikku. Waktu itu, aku pun telah kehilangan rasa takut. Kematian terasa begitu dekat, tetapi Hephaestion memberikan kesempatan kedua untukku. Akankah ada kesempatan seperti itu dari Alexander? Akankah ada ....
Aku tidak sanggup berpikir. Semua terasa buntu. Bila mungkin inilah akhirnya, aku siap.
Cengkeraman tangan Alexander semakin kuat, menyakitkan. Napasku terputus-putus. Pandanganku gelap sempurna.
“Perempuan jalang!” Alexander berteriak, aku masih bisa mendengarnya.
Tubuhku dilempar olehnya, aku jatuh berdebum di lantai batu. Aku mendengar sesuatu yang patah, tetapi sekujur tubuhku tak dapat merasakan sakit.
Dalam kesadaran yang tersisa, aku ingin tertawa keras. Ingin sekali, tetapi tiada apa pun yang keluar dari bibirku. Perempuan jalang! Itukah anggapannya? Siapa yang membuat seorang simpanan yang terikat sumpah setia menjadi jalang? Alexander sendiri. Akan tetapi, dia tampaknya tidak memiliki kesadaran logika tentang kenyataan itu.
Derap langkah kaki mendekat. Alexander masih mengumpat padaku. Dia menendang perutku, menendang lagi sampai tubuhku bergeser ke belakang dan menabrak lemari kayu. Benar, rasanya punggungku menghantam lemari kayu penyimpanan.
Perutku kaku, rasanya begitu penuh. Aku muntah darah. Perlahan aku membuka mata, melihat lantai yang berwarna merah segar. Juga pakaianku yang berwarna biru muda menjadi berwarna. Kedua tanganku memegangi perut bagian bawah yang melilit dan sungguh perih tak terkira. Rasanya lebih sakit daripada ketika melahirkan seorang bayi. Aku menduga ada luka terbuka di perut bagian bawah, sebab lama kelamaan tanganku terasa basah.
“Bangun!”
Alexander menarik bagian leher pakaianku. Dia mendorongku, menekanku pada dinding.
“Kau cantik, Demeter. Tapi, kau tidak layak untuk mendapatkan kemurahan hatiku.”
Layak atau tidak, apa peduliku. Sungguh aku ingin tertawa, andai bisa.
“Hephaestion tidak akan menyelamatkanmu!”
Aku merasakan tangan Alexander menaikkan kain panjang yang kukenakan. Dia menyibak hingga aku bisa merasakan seluruh bagian kakiku tidak tertutup apa pun.
Dalam ruangan, hanya ada aku dan Alexander. Pintu pun tertutup sesaat setelah aku jatuh terlempar. Alexander melakukannya, menuntaskan kekesalannya dengan mencampuriku. Selama itu pula, dia tidak melepaskan cengkeraman tangannya pada pakaianku.
Sakit. Terhina. Cukup dua kata itu yang terlintas dalam kepalaku. Alexander tertawa, di antara napas yang menderu. Dia sudah selesai. Genggaman tangannya, lalu membisikkan sesuatu yang sulit kupahami. Suaranya timbul tenggelam di sisa kesadaranku.