Hephaestion melangkah maju usai berkata, tidak. Kini, Antara Tuan dan Alexander hanya tersisa jarak satu pijak. Keduanya saling diam beberapa saat. Sementara aku masih tergeletak tak berdaya di lantai batu. Andai sanggup, aku ingin bangun dan melerai mereka.
Hephaestion memakai baju perang, dia mungkin baru kembali dari kota. Dalam hati, aku mengucap syukur yang begitu banyak. Sungguh bahagia mengetahui dia masih bersedia membelaku. Sikapnya sama dengan mempertaruhkan nyawa, dan segala yang dia miliki.
“Demeter telah setia padaku. Aku akan membalas semua pengorbanannya.” Hephaestion menegaskan sikapnya.
Sesaat kemudian, aku merasakan dua tangan menyentuh lengan lalu membimbingku untuk bangkit. Hephaestion berbisik, membesarkan hatiku bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Sementara aku tahu dia hanya berusaha menghibur.
Lantai di bawahku penuh darah, sebagian telah sedikit kering dan menghitam. Dengan segala upaya aku mencoba tersenyum untuk menyenangkan hati Hephaestion. Tak perlu kukatakan rasa sakit yang menjalari tubuhku.
Sekilas aku memberanikan diri memandang Alexander. Raja membuang muka ke arah lain, seakan-akan tidak sudi memandang kami berdua.
“Kau akan sembuh.” Hephaestion memapahku.
Aku memandang wajahnya, bertanya dalam diam, benarkah apa yang kami lakukan sekarang? Tidakkah akan melukai Alexander terlalu dalam? Aku sungguh menolak menjadi penyebab keretakkan persahabatan mereka.
Hephaestion mengayun satu langkah. Berhenti lagi saat aku tak juga bergerak. Perutku terasa kaku, dan kakiku sulit digerakkan.
“Tinggalkan dia!” Teriakan Alexander seketika meluluhlantakkan kebahagiaanku. Dia berbalik menatap kami. “Tinggalkan dia! Kau pergilah, Hephaestion.”
Aku menelan ludah. Tak sanggup membayangkan apa yang terjadi setelah Hephaestion pergi. Tuan masih belum beranjak, tetapi Alexander sudah memanggil penjaga juga pelayan.
Para pelayan mengambilalihku dari topangan Hephaestion. Alexander memerintahkan mereka untuk membawaku ke kamarnya. Ke kamarnya? Untuk apa, setelah dia memperlakukanku seperti binatang tak berarti.
Pandanganku beralih pada Tuan, berharap perlindungan. Dia justru mengangguk, isyarat bahwa aku dilepaskan untuk mengikuti perintah Alexander. Kakiku enggan beranjak meninggalkan balairung. Akan tetapi, pelayan mendorong tubuhku agar bergerak.
Aku tertatih dalam topangan dua orang. Sampainya di kamar Alexander, mereka membaringkanku di tempat duduk lebar. Bukan di tempat tidur. Aku tidak merasa keberatan di mana pun, karena bagiku tiada lagi yang sama. Sekarang hilang sudah kesempatanku untuk bisa melarikan diri.
Mentari di ujung cakrawala telah hilang sempurna ditelan gelap malam. Aku memejam, tiada menolak perlakuan para pelayan yang merusak paksa pakaianku. Mereka mengganti dengan kain baru. Bahkan, anehnya tiada lagi rasa sakit saat luka-lukaku dibersihkan.
Aku masih dapat merasakan gerakan tangan menyentuh kulit perutku. Juga usapan kain basah di sekujur kaki, tetapi semua terasa mati. Ataukah aku terlelap atau pingsan, mungkin begitu.