“Pergilah, cepat kembali memberi laporan saat kau memiliki bukti yang lebih kuat.”
Pembawa pesan langsung pergi. Sebelum itu, aku memberikan cincin yang kupakai untuknya. Aku punya banyak perhiasan, melepaskan satu di antaranya tidak berarti apa-apa. Dari sekian banyak benda berharga yang kumiliki, aku hanya berniat menyimpan beberapa.
Dugaan yang diberikan oleh pembawa pesan membuatku berpikir keras. Sejauh aku menggali ingatan, satu kali pun tidak ada perselisihan antara aku dan nama itu. Lalu, jika benar nama itu dalang di balik semua yang terjadi, satu pertanyaanku, mengapa?
Aku balik badan. Alexander harus tahu, aku ingin meminta pendapat darinya. Bukan tidak mungkin dia punya niat buruk pada Raja atau Tuan. Orang seperti dia layak dicurigai bila terbukti melakukan kejahatan padaku.
Langkahku buru-buru meninggalkan teras batu di sisi taman. Aku menuju balairung utama, berharap Alexander ada di sana. Terlebih balairung adalah ruangan terbuka yang terdekat.
“Kau melihat Raja?” Aku bertanya pada penjaga.
“Dia menuju tempat peristirahatan pasukan, Mistress.”
Jawaban yang mengejutkan. Apa yang dilakukannya bersama pasukan? Mereka baru kembali. Mustahil tidak memberi kesempatan untuk rehat sejenak.
Rasa ingin tahu menggelegak dalam dada. Aku berlari keluar dari balairung utama, lalu berbelok ke arah di mana sebagian besar pasukan beristirahat. Dari kejauhan, aku bisa mendengar suara riuh redam. Pesta? Di siang hari, mungkinkah?
Ketika hampir sampai, aku melewati Ptolemy. Dia memandangku, begitu pun aku. Ptolemy membuka mulut, seperti hendak bicara. Akan tetapi, tiada satu kata pun yang keluar dari bibirnya. Aku mengabaikan dia dengan melanjutkan langkah.
Napasku tersengal-sengal saat tiba di tepi area peristirahatan. Sekali lagi aku disambut sesuatu yang mengejutkan. Tenda-tenda dan perlengkapan prajurit sebagian dari mereka mengemasi barang-barangnya. Apa Alexander mengajak kami untuk pergi dari Persepolis. Sekarang? Akan tetapi, ke mana ....
“Mistress Demeter,” sebuah suara membuatku menoleh ke samping, “kau terlihat lelah. Apa terjadi sesuatu denganmu?”
Thais bertanya. Aku menggeleng untuk menjawab. Meski sesungguhnya banyak hal yang telah terjadi, aku tidak akan memberi tahu Thais. Berbicara dengannya pun sudah kuputuskan sebagai satu tindakan bodoh yang harus dihindari.
Thais seperti ingin bicara, tetapi aku meninggalkannya. Langkahku menyibak kerumunan para komandan di samping kanan. Aku menerobos di antara mereka.
Sial! Aku tidak memperhatikan sekitar, sampai luput mengetahui keberadaan Hephaestion. Tuan berdiri tidak jauh dariku. Aku ingin berbalik, lalu mengambil langkah memutar. Akan tetapi, saat menoleh ke belakang Thais masih berada di tempatnya semula.
Hephestion telah melihatku. Pandangan kami bertemu sesaat. Aku tidak dapat memungkiri kecanggungan yang terjadi di antara kami. Dalam hati, aku mengumpat, Hephaestion berjalan mendekatiku. Waktu terasa berhenti, napasku mendadak jadi sesak.
“Senang melihatmu.” Hephestion menyapa.
Aku menengadah sesaat, menangkap sinar mata abu-abu miliknya yang begitu redup. Tidak ada lagi binar yang dulu dia miliki. Aku ingin menjawab, tetapi suaraku seperti tertahan. Satu-satunya yang terjadi hanyalah tangis. Air mataku merebak. Buru-buru aku mengusap pipi, tidak ingin ada orang lain yang melihat.