The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #2

Bab 1

Dengan wajah bersemangat dan antusias, Bu Amala masuk ke ruang kelas. Tangannya membawa lembaran kertas hasil ujian Fisika. Dia memberi selamat karena seluruh murid di kelas itu lulus dengan nilai jauh di atas rata-rata bahkan beberapa mendapat nilai sempurna.

Bu Amala menghampiri bangku satu per satu dan menyerahkan hasil ujiannya langsung. Ada empat murid yang ia tepuk pundaknya saat menyerahkan lembar kertas ujian, dua laki-laki dan dua perempuan. Seisi kelas tahu kalau tepukan di pundak itu merupakan kode bahwa orang itu mendapat nilai sempurna.

Sebelum memasuki materi pelajaran, Bu Amala biasa mengajak siswanya berdiskusi tentang topik-topik seru yang selalu jadi perdebatan di dunia Fisika seperti Energi Nuklir, Teori Big Bang, Multiverse, eksplorasi angkasa luar dan semacamnya.

Untuk minggu ini, ia mengangkat topik tentang time travel atau menjelajah waktu.

"Apakah memungkinkan manusia menjelajah waktu?"

Seorang murid laki-laki mengangkat tangannya.

"Silakan Gala!"

"Kalau memungkinkan ya Bu, harusnya dari dulu sudah bisa. Nyatanya, hingga saat ini, belum ada bukti empiris yang mendukung keberadaan time travel meski penelitian secara ekstensif sudah dilakukan. Teori-teori yang beredar di luar sana sifatnya spekulatif dan belum teruji. Jadi menurut saya konsep time travel hanya bagian dari science-fiction."

Seorang murid perempuan langsung mengangkat tangannya.

"Silakan Milan!"

"Saya tidak sependapat!" kata Milan tegas. Sebenarnya dia sependapat dengan Gala, tapi sudah menjadi menjadi keharusan dia mengambil posisi yang berlawanan dengannya. Sebagai rival sejati, masing-masing rela berakrobat, ganti haluan yang penting bisa saling melawan dan menyerang.

"Time travel sangat mungkin terjadi. Konsepnya sendiri berakar dari Teori Relativitas Einstein yang menyatakan kalau waktu itu tidak absolute tapi relatif. Waktu bisa berjalan lebih cepat atau lambat tergantung pada beberapa faktor seperti kecepatan dan gravitasi. Jika seseorang berada di dalam pesawat luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya atau dalam jangkauan objek bergravitasi kuat seperti black hole, waktu yang dia alami akan bergerak lebih lambat dari pada di bumi. Satu jam di sana bisa setara dengan puluhan tahun di bumi. Saat orang tersebut kembali ke bumi, ia bisa dikatakan menjelajah waktu ke masa depan. Fenomena ini dikenal dengan istilah time dilation, fondasi dari kemungkinan adanya time travel. Jadi," Milan melirik Gala tajam sambil tersenyum sinis, "yang bilang kalau time travel itu science fiction ya mungkin bacaannya cuma science fiction."

"Contoh yang kamu berikan terdengar familiar," Gala pura-pura berpikir keras kemudian menyeringai, "ah iya Interstellar! Sebuah science fiction."

Ia sengaja memberi penekanan khusus pada kata 'fiction' untuk menyindir. "Memang betul kecepatan objek dan medan gravitasi menyebabkan time dilation, secara teori iya. Tapi pada praktiknya mustahil bisa dibuktikan karena untuk mengalami time dilation yang signifikan seperti contoh tadi, energi yang dibutuhkan akan luar biasa besar bahkan mungkin melebihi kapasitas alam semesta," tandas Gala mendramatisir. 

"Apa tadi kamu bilang sekedar teori?" Milan memasang wajah syok yang dibesar-besarkan. "Time dilation itu benar-benar nyata. Contohnya Satelit GPS yang berada atas sana. Karena berada di area jauh dari jangkauan gravitasi, jam di sana berdetak lebih cepat dari jam yang berada di sini. Akibatnya, mereka harus mengoreksinya secara berkala agar tetap akurat dan sinkron. Jika waktu bisa dimanipulasi seperti itu, maka konsep time travel tidak semustahil yang kamu pikir."

Gala menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan prihatin yang dibuat-buat. "Contoh GPS tadi hanya membuktikan fenomena time dilation seperti yang Einstein prediksi tapi tidak untuk time travel. Hanya karena kita bisa mengotak-atik waktu satelit GPS, tidak berarti kita bisa mengobrak-abrik waktu alam semesta. Belum ada teknologi yang memungkinkan itu terjadi. Menjelajah waktu apalagi ke masa lalu sangatlah problematik karena selain menciptakan paradoks, juga menyalahi hukum ke-2 Termodinamika, di mana entropi semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Artinya,” Gala menarik napas sedalam-dalamnya, “waktu itu berjalan secara linier, dan rentetan peristiwa berjalan secara konsisten dari sebab ke akibat bukan sebaliknya."

“Ngomong-ngomong soal entropi, argumen kamu kayaknya berpegang erat pada prinsipnya, semakin ke sini semakin berantakan," Milan tersenyum geli. "Memang betul teknologi saat ini belum bisa memanipulasi waktu dalam skala besar namun bukan berarti hal itu tidak memungkinkan. Apa yang dianggap mustahil puluhan tahun ke belakang, jadi realita di masa sekarang. Menjelajah waktu pun akan menjadi salah satunya."

"Ah, argumen kamu mengingatkan saya pada black hole, masif tapi tidak berdasar," kali ini Gala yang tersenyum geli. "Seperti yang saya sebutkan tadi..."

Perdebatan pun semakin memanas seperti debat antar politisi yang sedang memperebutkan kursi kekuasaan. 

Sebagian besar murid lain hanya menguap saking bosannya melihat mereka berdebat. Bagi mereka, Milan dan Gala tidak lebih dari sekedar dua makhluk self-obsessed megalomaniac.

"Pernah dengar Grandparents Paradox?" serang Gala.

"Pernah dengar Novikov self-consistency principle?' Milan balik menyerang.

Bu Amala pun langsung menengahi keduanya. "Memang ya kalau kalian berdua sedang berdebat berasa lihat Hukum Ketiga Newton in action," canda Bu Amala. "Satu argumen selalu dibalas dengan argumen lain yang sama-sama kuat dan berlawanan," Bu Amala tertawa kecil kemudian matanya menyapu seluruh ruangan. "Bagaimana anak-anak? Untuk time travel ini kalian berada di team mana, Milan atau Gala?"

Seorang murid perempuan mengangkat tangannya.

"Naima, Silakan!"

"Saya di tengah-tengah Bu, di satu sisi saya setuju dengan Gala, perjalanan waktu ke masa lalu sangat tidak masuk akal, tapi di sisi lain saya juga setuju dengan Milan, kalau "loncat" ke masa depan bukan hal yang mustahil dengan adanya time dilation."

"Jadi menurut kamu, time travel memungkinkan tapi hanya satu arah, yaitu ke masa depan?" Bu Amala mengangguk, "yang lain?"

Gala dan Milan beradu pandang sekilas kemudian masing-masing melihat ke depan.

*****

Sekumpulan anak laki-laki terlihat asyik bermain game online di sela-sela pelajaran kosong. Dengan ekspresi super serius, jari-jari mereka lincah menekan-nekan layar ponsel.

Semakin intens permainan, semakin banyak sumpah serapah yang mereka keluarkan. Sungguh berisik, sama berisiknya dengan grup anak perempuan yang sedang asyik nonton video K-pop di depan laptop.

Madrid dan kedua kawannya Pancho dan Upin malah sibuk menggelar konser di pojokan. Dengan penuh penghayatan Upin memegang erat gagang sapu layaknya microphone sambil menyanyi dengan suara serak-serak batuk kering. Pancho pun memainkan gitar imajiner-nya dengan sangat heboh, lebih heboh dari Madrid yang pegang gitar betulan. Tuh anak mungkin kerasukan Jimi Hendrix.

Sambil cekikikan seorang anak perempuan menodongkan ponsel, merekam kegilaan mereka dan mengunggahnya di akun TikTok dan Instagram kelas.

Semua penghuni kelas tampak tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Sayangnya, keseruan mereka harus terhenti saat seorang guru tiba-tiba masuk. Dengan malas dan terpaksa, anak-anak pun kembali ke bangku masing-masing.

Guru bernama Pak Soni itu kesal karena kelas ini berisik sekali sampai terdengar ke ruang kelas sebelah yang sedang dia ajar. Ia lalu menyuruh mereka mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru mata pelajaran Ekonomi.

"Siapa ketua kelasnya?" tanya Pak Soni.

"Brad Pitt Pak," celetuk Madrid sambil menunjuk anak berkacamata tebal, rambut rapi belah sisi, dan berkawat gigi yang duduk di bangku paling depan.

Pandangan Pak Soni mendarat pada anak itu. "Kamu Brad Pitt?"

Seisi kelas reflek tertawa.

"Dante Pak, tapi saya welcome kalau dipanggil Brad Pitt, Chris Hemsworth, Tom Holland bebas Pak…" balasnya santai.

Pak Soni menggelengkan kepalanya. "Nanti kumpulkan tugasnya ke saya di kelas sebelah."

"Siap Pak," jawab Dante sambil memamerkan seluruh pagar besi di gigi-giginya.

Kelas 12-G, memang kelas teriseng. Si Dante yang berpenampilan culun mereka panggil Brad Pitt sementara si Samuel anak blasteran berpenampilan keren dan populer seantero sekolah, mereka panggil Smeagol

Asal tahu saja, di kelas itu hampir semua anak punya nama julukan. Penggagasnya siapa lagi kalau bukan Madrid. Dia mengotak-atik nama orang selain sebagai lelucon juga sebagai balas dendam karena namanya sendiri dirusak oleh teman-teman sekelasnya. Nama keren yang diambil dari salah satu kota di Spanyol itu malah seenaknya dilokalisasi menjadi "Mamad".

Setelah Pak Soni meninggalkan kelas, beberapa langsung merapat ke bangku Burok (bukan nama asli) untuk menyalin jawaban. Sebagian lagi sibuk menggunakan ChatGPT.

Madrid sendiri tidak mengerjakan, dia malah sibuk memasukan barang-barangnya ke dalam tas.

"Mau kabur Mad? jam segini udah beres-beres?" tanya Pancho, mata fokus ke layar ponsel, sementara tangannya sibuk menulis.

"Barenglah, nih bentar lagi beres."

Madrid menyandarkan punggungnya lunglai. "Bukan kabur, gue mau ke Jakarta. Biasa ke makam."

Pancho tertegun sesaat kemudian melirik Madrid. "Oh iya, hari ini yang keberapa tahun?"

"10 tahun."

"Gimana lu udah siapin puisi?" Pancho cekikikan. 

Lihat selengkapnya