Orang-orang berseragam putih abu-abu terlihat menghiasi setiap sudut sekolah ini. Gedung sekolahnya sendiri lumayan unik dengan sentuhan arsitektur era kolonialnya itu. Jujur, aku suka suasananya.
Aku berjalan melewati lorong sambil memperhatikan plang di depan kelas.
"Woy Mad," seorang murid laki-laki menepuk pundakku dari belakang, kemudian berjalan setengah berlari melewatiku.
"Hai Mad,” sapa lagi seorang anak perempuan sambil melambaikan tangan.
Sepanjang melewati koridor, ada saja orang yang menyapa Madrid. Masih mending kalau hanya menyapa, ada juga yang sambil lempar bola.
Tidak bisakah aku jalan dengan tenang ke kelas? Sungguh mengesalkan. Apa orang-orang di sini tidak mengenal namanya personal space?
Aku percepat langkahku dan berhenti di depan kelas dengan plang 12-G.
Begitu masuk, dua murid laki-laki menghadang. Yang satu tubuhnya lebih tinggi dari Madrid dan kulitnya pucat sekali yang satu lagi lebih pendek dan berwajah oriental. Dari gaya dan pembawaannya, sepertinya mereka pembuat onar di sekolah ini.
"Widih Mamad, baju dimasukin, fenomena apakah ini?" kata salah satu dari mereka.
"Liat Pin, rambutnya disisir rapi gini," tambah satunya lagi sambil tertawa.
"Kayak pengangguran lagi lamar kerjaan ya?"
Mereka berdua tertawa entah apa yang mereka tertawakan.
"Dengar ya," aku menatap lurus orang yang lebih tinggi dari Madrid kemudian membaca nama yang tertera di seragamnya, "Francisco? dan," aku juga lirik yang satunya lagi, "Gavin? ... pelajar tuh emang harusnya rapi bukan berantakan kayak kalian berdua!"
"Francisco?”
"Gavin?"
Mereka saling beradu pandang selama dua detik kemudian kembali tertawa. “Lo kenapa sih hari ini?”
"Permisi!" Aku langsung melewati mereka berdua kemudian duduk di bangku ujung, barisan ketiga, Madrid bilang dia duduk di sana.
Seorang guru wanita masuk dengan membawa lembaran kertas. Francisco langsung duduk di sebelahku.
"Anak-anak hari ini ulangan matematika. Di meja tidak boleh ada apa-apa kecuali alat tulis.”
Aku mencari-cari alat tulis di tas Madrid tapi nihil. Semua kantung aku periksa tak satu pun ada alat tulis di sana. Orang ini niat sekolah apa tidak?
"Boleh pinjem alat tulis?" kataku kepada Francisco.
"Tumben lu izin? Biasanya lu main samber."
Aku menghela napas. "Sekali-kali jadi manusia beradab boleh kan?"
Francisco merogoh tasnya, dia pun mencari alat tulis di tasnya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. "Lu pulpen, pensil gua yang pake.”
"Hemh!" Aku ambil pulpen dari tangannya.
"Semua udah dapet kertas ujiannya.”
"Sudaah"
"Silakan kerjakan!"
Aku periksa lembar ujiannya. Ternyata pelajaran matematika. 10 soal uraian! Aku kerjakan dan begitu selesai aku bangkit dan menyerahkannya ke meja guru.
"Sudah beres Madrid?"
Aku mengangguk.
"Baru 15 menit, coba periksa kembali, jangan terburu-buru, nanti ada yang kelewat."
"Saya nggak buru-buru kok. Soal-soalnya kebetulan gampang jadi saya cepet ngerjainnya."