The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #8

Bab 7

Begitu membuka mata aku langsung berlari ke cermin. Sosok yang terpantul di sana masih sama seperti kemarin—bukan aku. Sial! 

 Panik bukan main, yang bisa kulakukan hanya menggaruk-garuk kepala yang aslinya memang panas dan gatal. Rasanya aku ingin mencukur habis rambut di kepala ini. Sayangnya ini bukan kepalaku.

Kalau aku kelamaan bersarang di tubuh si Milan, aku bisa gila. Aku harus cari orang pintar. Pronto!

Tapi cari paranormal ke mana ya?

Andai saja ada Pancho dan Upin di sini, aku tidak harus repot sendiri. Apa aku minta bantuan mereka?

Ah tidak! 

Kalau mereka tahu kalau aku jadi perempuan, aku bisa habis jadi bulan-bulanan mereka. Mungkin aku coba tanya si Ori, kali saja dia punya kenalan paranormal.


*****

Sudah kuduga, hari ini aku masih menjadi Madrid. Kira-kira sampai kapan pertukaran ini berlangsung? Kenapa, bagaimana, dan tujuannya apa masih belum terjawab! Aku bahkan tidak tahu kemana lagi harus mencari jawaban.

Apa yang akan terjadi kalau kita berdua tidak bisa kembali? Jelas sekali aku tidak bisa selamanya menjadi Madrid begitu juga sebaliknya, Madrid tidak bisa menjadi aku. 

Aku menghela napas dalam sebelum masuk ke ruang kelas. Rasanya hari ini tidak selera menghadapi kegilaan penghuni-penghuninya terutama dua temannya Madrid.

Hari ini mereka tidak menghampiriku, tapi dari sudut bangku sana, mereka tampak memperhatikanku dengan serius, sesekali berbisik-bisik sepertinya mereka merencanakan sesuatu dan entah kenapa perasaanku tidak enak.


****

Di kantin, aku dan Ori asyik berdiskusi film horor yang kemarin kita tonton. Rasanya energiku kembali terpompa setelah tadi di kelas terkuras habis bukan karena berpikir tapi karena melawan rasa kantuk yang mahadahsyat.

 “Yang nulis cerita bisa-bisanya bikin ending kayak gitu ya?”

“Ehm! Nggak sia-sia aku bolos les,” katanya dengan wajah berbinar. “Kapan-kapan kita nonton lagi!”

“Pastinya!” seruku penuh semangat. “Eh ngomong-ngomong soal film horor, Ori punya kenalan paranormal gak?”

“Paranormal?” Ia tertawa, “enggaklah! Kamu ngapain butuh paranormal?”

“Bukan buat gue,” aku tertawa gugup, “tapi temen.”

“Buat apa? Riset ya? Dulu sepupuku, mahasiswa jurusan Antropologi pernah wawancara paranormal. Kurang tahu sih apa yang diteliti.”

“Bukan! buat konsultasi.”

“Konsultasi? Kok bisa?”

Aku garuk-garuk kepala sejenak, bingung menjelaskannya.

“Jadi dia tuh, katanya ni ya, dia berada di tubuh yang salah. Jadi dia pengen ruh dia kembali ke tubuhnya.”

Ori diam sejenak berusaha mencerna kata-kata yang aku ucapkan barusan yang pastinya terdengar absurd.

“Kalau kataku, teman kamu harus konsultasi ke psikiater atau neurologist deh bukan paranormal. Coba dicek kondisi kesehatan otak sama mentalnya. Mungkin ada masalah.”

Aku menarik napas dalam. “Gitu ya?” 

Si Milan benar, bercerita kepada orang-orang normal ujung-ujungnya malah dicap abnormal. Makanya, jalan satu-satunya adalah konsultasi dengan paranormal.

“Eh kira-kira sepupunya Ori yang jurusan Antropologi itu masih punya kontak paranormalnya nggak?” tanyaku.

Belum juga Ori menjawab, tiba-tiba si Wolf menghampiriku.

“Saya mau balikin buku yang saya pinjem,” katanya sambil menyodorkan buku berwarna merah dengan kata “Gulag” tercetak tebal di sampul depannya. “Maaf saya minjemnya lama.”

“Oh,” kataku mengambil buku itu. “No problemo!”

Wolf masih diam di samping meja.

“Ada lagi Bro?” kataku.

Ia menghela napas. “Kayaknya saya perlu bicara empat mata sama kamu?”

“Hah?” Aku mengernyitkan dahi kemudian beradu pandang dengan Ori yang juga tampak penuh tanda tanya.

“Penting.”

“Ya udah ngomong aja di sini.”

“Nggak bisa di sini banyak orang.”

Lihat selengkapnya