Di kantin, aku hanya beli air mineral. Untuk makanan aku bawa sendiri dari rumah. Lebih sehat dan lebih hemat. Sambil makan, aku juga menjelajah ke dunia maya dan bergerilya ke forum-forum anak kembar. Aku penasaran, kira-kira di luar sana ada anak kembar lain yang mengalami hal serupa?
Konsentrasiku tiba-tiba buyar saat Francisco dan Gavin duduk di mejaku. Mau apa lagi sih mereka?
“Mad, lu masih ingat nggak temen kita si Dino Suarez?"
“Hemh,” hanya itu yang keluar dari mulutku, berharap mereka cepat pergi.
“Lu tahu nggak dia di mana sekarang?”
“Jam segini, ya dia di sekolah kali,” jawabku asal, pandanganku kembali fokus ke layar ponsel.
Mereka berdua bangkit. Aku tersenyum. Akhirnya mereka menyingkir dari hadapanku. Tapi ternyata aku salah. Mereka berdua malah mencengkram lengan kiri dan kananku kemudian melipatnya di punggung. Aku tidak bisa bergerak. Orang-orang yang kebetulan melihat tidak sedikit pun curiga, seolah-olah pemandangan seperti ini hal biasa.
“Ini apa-apaan sih?” tanyaku kesal dan jujur sedikit panik. Aku tidak mengantisipasi akan dikonfrontasi seperti ini. Aku tidak tahu sejauh mana kegilaan yang bisa diperbuat oleh duo dumb and dumber ini.
Mereka berdua tidak menjawab malah menggiringku ke gang di belakang kantin yang sepi. Kecurigaanku benar. Mereka merencanakan sesuatu. Dan keselamatanku taruhannya.
“Kalian mau apa?” tanyaku kembali.
Francisco dan Gavin beradu pandang kemudian sekonyong-konyong mendorong tubuhku ke tembok keras. Mereka berdua maju mendekat, tidak menyisakan ruang untuk melarikan diri.
“Lo tadi bilang apa? Dino ada di sekolahnya?” Gavin menodongkan wajahnya padaku sambil berusaha membelalakan kedua mata sipitnya.
“Dino? Siapa?” Aku tidak ingat percakapanku dengan mereka sebelumnya.
“Bro! Dino Suarez itu kucing piaraan si Mamad yang tewas keracunan. Hari ini kematiannya yang ke 3 tahun.”
Oh. Jadi tadi mereka tadi mengetesku?
“Lu bukan Madrid! Siapa lu sebenarnya?” kali ini Francisco yang bertanya. Luar biasa! Secepat ini mereka sadar kalau aku bukan Madrid.
“Kalau bukan Madrid emang saya siapa coba?” tanyaku, berusaha membangkitkan kembali akal sehat mereka yang mungkin sudah lama terkubur.
"Doppelganger!” celetuk Gavin.
“Gua nggak tahu lu siapa yang jelas lu bukan Mamad temen gua,” tutur Francisco.
“Kita berdua nih udah kenal si Mamad dari SMP,” timpal Gavin. “Jadi kita bisa bedain mana yang asli mana yang bajakan.”
Dia menarik kerah bajuku dengan kedua tangannya. “Lo ngaku deh, lo pasti minum polyjuice potion buat nyamar jadi si Mamad!”