The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #11

Bab 10

Beras habis. Kulkas kosong total. Bahkan mie instan kemarin juga sudah tidak ada. Tadinya kalau terpaksa aku bersedia memakannya dan siap menanggung segala resikonya yang penting rasa lapar di perutku lenyap.

Uang saku juga habis. Kalau begini caranya aku harus bagaimana? Belum pernah aku kebingungan soal makanan. Di rumah Nenek tidak pernah terjadi yang namanya krisis bahan pangan.

Aku duduk di kursi ruang tengah bersandar, karena lemas aku pun tertidur dan terbangun sekitar satu jam kemudian karena mendengar suara derungan motor. Ayahku pulang.

“Beras habis ya Mad, pasti kamu belum makan?”

Ia kemudian menyodorkan kantong kresek. Aku buka isinya dua bungkus Mie instan. 

“Tadinya mau beli Nasi Padang, eh motor kehabisan bensin. Duitnya cuma cukup beli itu. Kalau maksain beli nasi padang ntar besok kamu nggak ada uang saku.”

Aku hanya menghela napas dalam. Ternyata aku benar-benar harus makan mie instan.

Ayahku duduk lunglai sambil membuang napas. “Udah dua bulan berturut-berturut, gaji telat mulu Mad. Mana stok makanan udah pada habis.”

“Kalau gitu, cari kerjaan lain,” saranku, simple.

“Emang gampang nyari kerjaan? Yang ini aja dulu susah ngedapetinnya,” ia membuang napas, “Temen-temen papa pada pake pinjol tapi papa tunggu dulu sampai besok, mudah-mudahan gajinya cair seperti janji mereka.”

“Harus! Kalau nggak, kita mati kelaparan.” 

Dia tertawa. “Pasti ada jalan keluarnya. Kita kan bukan sekali dua kali, ngalamin kayak gini. Kalau kata pepatah badai pasti berlalu hehe.”

Bahkan dalam kondisi seperti ini dia masih bisa tertawa? Luar biasa!

“Yang paling parah kamu inget nggak? Kamu hampir jual motor itu, padahal baru beli.”

Aku melirik motor Madrid. “Mungkin ini saat yang tepat buat jual motor itu lagi?”

Kalimat itu tentu saja hanya bisa kuucapkan dalam hati. 

“Ah kalau lagi masa-masa suram kayak gini, papa suka bersyukur Milan tinggal sama neneknya.”

“Ehm?” Aku sedikit terhenyak mendengar namaku disebut-sebut.

“Dengan begitu, dia nggak perlu ngalamin yang kita alamin Mad. Bersama neneknya hidupnya nggak banyak beban. Hal itu patut kita syukuri. 

Aku tidak berkomentar. 

“Tapi kadang …,” raut wajahnya mengeras, “papa masih berharap Milan kembali bersama kita,” dia tersenyum getir. “Udah gak mungkin ya?”

“Sepertinya,” balasku, singkat. “Mungkin ini yang terbaik untuk semua pihak.”

 “Mungkin benar, ini yang terbaik buat semua,” Ia menghela napas kemudian bergumam, “moga mamamu bisa maafin papa karena nggak bisa ngewujudin amanat terakhirnya,” gumannya.

“Maksudnya?”

Lihat selengkapnya