The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #12

Bab 11

Tiga hari aku masih di sini. Tiga hari masih belum menemukan petunjuk. Tiga hari aku masih menjadi Madrid. Kemungkinan kalau body-swap ini permanen semakin meningkat dan hal itu mulai membuatku khawatir.

“Woy Mamad introvert!” Gavin dan Francisco berlari menghampiriku yang baru saja berjalan memasuki gerbang sekolah.

“Kita berdua udah dapet alamat orang pinter!” seru Gavin penuh semangat.

“Orang pinter?”

“Iya paranormal,” ia melirik layar di ponselnya, “namanya Madam Carola Van der Lee. Dia bukan paranormal sembarangan tapi bersertifikat.”

“Yang ngeluarin sertifikat siapa? Kementrian Sihir?” Aku menarik napas berat, “kalian, jangan buang-buang waktu saya deh.”

Aku meneruskan langkah.

“Gua juga sebenarnya ragu,” Francisco menghadang. “Tapi udah banyak testimoni positif dari orang-orang yang gunain jasa ini madam. Mereka puas karena masalah mistis mereka berhasil teratasi.”

Aku melipat tangan di dada. “Emang siapa yang punya masalah mistis?”

Spirit kalian ketuker-tuker gitu kalau bukan mistis apa dong namanya?”

Spirit?” Aku menggelengkan-geleng kepala. “Jadi itu kesimpulan kalian?”

“Ya terus apa dong?”

“Ya itu dia, saya belum tahu.”

“Makanya nanya sama yang tahu, alias ahlinya,” sahut Gavin.

“Saya nggak percaya hal-hal kayak begitu.”

“Gua juga ragu, makanya kita buktiin langsung bener apa enggak itu Madam yang katanya sakti itu bisa mecahin kasus aneh ini. Kalau bisa syukur kalau nggak ya udah, nggak ada ruginya toh?”

Aku tertegun sejenak. Aku akui, kasus ini memang di luar nalar. Jadi mungkin dibutuhkan pendekatan yang di luar nalar juga? 

“Oke,” balasku. “Kita ke sana.”

Terkadang untuk bisa menarik kesimpulan yang tepat kita harus mempertimbangkan segala kemungkinan termasuk yang tidak masuk akal sekali pun? Ya kan?

Aku tertawa dalam hati! Yang barusan itu omong kosong! Sejujurnya, aku putus asa, karena itulah aku setuju dengan ajakan absurd mereka.

 “Ya udah kita chau sekarang!” Francisco melirik jam tangannya. “Keburu gerbang tutup.”

“Sekarang?”

“Iya sekarang! kalau nunggu pulang sekolah kesorean, alamatnya jauh, daerah kabupaten.”

Oh jadi ini alasan mereka menghadangku di sini. Mereka sudah berencana bolos.

Now or Never!” sahut Gavin, mendramatisir seperti biasa. 

Aku diam sejenak kemudian mengangguk setuju. “Naik apa kita ke sana?” tanyaku sambil mengintip saku seragam. Aku tidak tahu uangku yang minim ini cukup buat ongkos bolak-balik.

Lihat selengkapnya