The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #13

Bab 12

Setelah sekitar 30 menitan memasuki daerah pegunungan, menembus pepohonan lebat bagaikan hutan, akhirnya kita tiba di rumah besar dua lantai. Dilihat dari desain rumahnya, sepertinya rumah ini dibangun di era kolonial. Meski bangunan tua, rumah ini terlihat masih bagus dan kokoh. Di sekitaran, aku tidak melihat rumah lain. Benar-benar terpencil. Sepi, sunyi sesekali hanya terdengar suara burung.

Aku tersenyum. Sepertinya aku akan betah kalau rumahku di sini.

“Angker ya!” Gavin menggosok-gosok tengkuknya.

“Namanya juga rumah dukun, Pin," balas Francisco sambil mengetuk pintu. “Permisi!”

Beberapa saat kemudian seorang perempuan muda membuka pintu. Ia mengenakan kaos hitam lengan panjang, celana jeans biru laut. Rambutnya cokelat panjang bergelombang.

Bayanganku paranormal itu perempuan paruh baya bergaya bohemian, tapi dia berpenampilan layaknya orang “normal”.

Gavin dan Francisco nampak terkesima dengan sosok perempuan itu. Wajah tegang yang tadi mereka perlihatkan mendadak sirna.

“Silakan masuk,” kata perempuan itu tanpa basa-basi. Ia menuntun kami bertiga ke meja bundar di ruang tengah. Aku perhatikan rumah ini didominasi oleh barang-barang antik. Beberapa lukisan dan patung-patung aneh juga menambah kesan gotik rumah ini.

“Madam Carol lagi nggak ada di sini. Beliau sedang studi banding di Salem, Massachuset. Jadi untuk sementara waktu saya yang akan menghandle klien,” tuturnya dengan nada malas, seolah dia terpaksa harus melakukan semua ini.

“Ooh …,” Gavin mengangguk. “Studi ya? emang Hogwarts buka cabang di sana ya?” 

“Gimana?”

“Bercanda Kak!” susul Francisco sambil menyikut kaki Gavin. 

 “Maaf, Kakak sendiri siapa?” tanya Gavin.

“Saya asisten sekaligus keponakan Madam Carol, Isabella, panggil saja saya Isa,” balasnya datar.

“Francisco,” Francisco mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri kemudian disusul Gavin dan aku.

“Silakan langsung saja,” kata Isa seolah dia ingin cepat-cepat mengusir kami bertiga dari rumahnya.

Gavin dan Francisco melirik ke arahku.

Aku pun mulai bercerita bagaimana aku terbangun di tubuh Madrid dan sebaliknya Madrid terbangun di tubuhku. Selama aku bercerita, sebentar-sebentar matanya membesar dan sebentar-bentar menerawang, kemudian diakhiri dengan anggukan.

“Menarik!” kata perempuan itu, ekspresi perempuan itu kembali datar. “Saya belum pernah menangani kasus ruh dua manusia yang tertukar.”

Aku menghela napas. Seperti yang kuduga, kesimpulannya akan sama dengan dua teman Madrid.

“Oke, kalau memang ruh kami tertukar,” kataku mengikuti alur pemikirannya, “terus bagaimana menukarkannya kembali ke tempat semula?” 

“Sebentar,” perempuan itu bangkit kemudian mengambil satu dek kartu. Dengan lincah, ia mengocok kartu-kartu itu kemudian dibagi tiga kelompok.

“Silakan ambil satu,” katanya padaku.

“Poker?” bisik Gavin.

“Bukanlah,” sergah Francisco. 

Lihat selengkapnya