The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #14

Bab 13

Setelah satu jam perjalanan, kami bertiga turun di pinggir jalan raya. Dari sana, kami jalan kaki melewati gang-gang yang berkelok, kemudian jalanan sepi di mana kiri dan kanan area persawahan.

Setelah kurang lebih 15 menitan berjalan, kami sampai di salah satu rumah yang terlihat lebih cocok dihuni nenek sihir dari pada manusia.

Bayangkan halamannya yang luas didominasi pohon bambu dan pohon-pohon besar lainnya. Gelap, sepi, padahal masih jam setengah lima. Sesekali terdengar suara burung sirit uncuing yang kalau kata mitos ini burung pembawa kabar kematian. Mana di pinggir rumahnya berjajar lima kuburan lagi.

Selama berjalan dari pagar ke rumah, angin berhembus, menggoyangkan pepohonan seolah-olah mengiringi kita bertiga.

Begitu sampai pintu, angin pun berhenti dan pohon-pohon itu pun diam. 

“Permisi!” aku mengetuk pintu.

“Masuk …,” terdengar suara dari dalam.

Dua detik kemudian pintu membuka sendiri padahal tidak ada angin. Wuih! aku tersenyum lebar, Mak Tarmin ini beneran orang sakti.

Kami bertiga buka sepatu kemudian masuk. Di dalam terlihat seorang nenek-nenek sedang duduk di kursi goyang sambil membelai kucing hitam bermata kuning.

Ia memakai daster putih yang sudah lusuh, rambutnya yang putih dia gerai begitu saja. Untung dia nenek-nenek, kalau kakek-kakek, dia lebih cocok dipanggil Saruman. Aku tertawa di dalam hati.

“Silakan duduk,” katanya tersenyum ramah, sambil membelai kucing hitam dipangkuannya.

Kerena tidak ada kursi kami pun duduk lesehan di karpet.

“Kalau mau minum atau makanan ambil sendiri di dapur.”

“Nggak usah Nek eh Mak,” kataku grogi. “Kami ke sini mau minta bantuan.”

Mak Tarmin melirik ke arahku kemudian mengangguk seolah memberi tanda untukku bercerita.

Selama aku bercerita, Mak Tarmin sesekali terkekeh seolah kisah tragedi yang sedang aku ceritakan ini sebuah komedi.

“Jadi Mak, saya ke sini pengin tahu cara balikin ruh kami ke tempat semula. Menurut Mak Tarmin gimana?”

Mak Tarmin mendadak lama terdiam. “Maaf tapi kayaknya emak enggak bisa bantu.”

“Eh?”

Aku dan Ori beradu pandang. Si Wolf santai memperhatikan Mak Tarmin dengan tangan melipat di dada.

“Entu kutukan cuma bisa dicabut sama yang buatnya.”

“Terus gimana dong Mak? Saya nggak tahu siapa yang iseng ngutuk saya."

“Emak sih yakin bukan berasal dari dunia ini,” balasnya santai.

Sudah kuduga. Dalang dari semua ini adalah mahluk gaib! Iblis!

“Maka dari itu saya ke sini Mak. Saya butuh bantuan Emak buat ngelawan mereka.”

“Waduh kamu mau ngajak emak bertarung?” Mak Tarmin terkekeh. “Percuma, ngalahin mereka belum tentu bisa ngilangin kutukannya.”

“Ya terus saya harus gimana?” Aku mulai frustrasi.

Mak Tarmin diam kembali. “Kamu tahu gak kenapa kamu bisa kena kutukan?”

Aku menggeleng sementara Mak Tarmin mengangguk.

“Kalau udah nemu jawabannya, kamu bisa nemuin emak lagi.”

“Tapi?”

Belum sempat melanjutkan, pintu rumah yang tertutup perlahan-lahan membuka sendiri. 

“Yaa udah saatnya pulang. Jangan sampe udah gelap kalian masih di sini. Bahaya! He he he ….”

“Tapi Mak?”

“Kenapa? kamu mau tetep di sini? Boleh-boleh aja, tapi kalau nggak bisa balik lagi jangan salahin emak ya.”

“Eh?”

Kucing di pangkuan Mak Tarmin tiba-tiba mengeong-ngeong heboh seolah mengusir kami.

Ori langsung bangkit kemudian menarik tanganku. “Ayo!” katanya dengan wajah tegang. Wolf hanya membuang napas kemudian bangkit.

“Ya udah Makasih Mak,” kataku dengan nada kecewa.

Setelah ke luar rumah, pintu kembali tertutup rapat dengan sendirinya. Angin kembali berhembus. Baru juga lima langkah Wolf diam mematung sambil mengernyitkan dahinya.

“Kenapa Wolf?”

“Ada yang ketinggalan?” tanya Ori.

Wolf mengucek kedua matanya kemudian melihat ke sekeliling seolah mencari sesuatu. “Kalian lihat perempuan aneh tadi?”

“Perempuan apaan?” kataku sambil mengusap bagian belakan leherku.

“Aku nggak liat siapa-siapa,” Ori satu suara denganku.

“Tadi ada di depan terus mendadak hilang,” balas Wolf santai. “Masalahnya wajahnya nggak asing kayak,” Wolf tiba-tiba menatap ke arahku seksama kemudian menggelengkan kepalanya, “lupain!” Ia pun meneruskan langkahnya.

“Jangan-jangan setan yang lo liat,” aku mulai sedikit panik, dan mempercepat langkahku.

Setelah ke luar jauh dari halaman rumah Mak Tarmin, suasana kembali normal. Tidak ada lagi aura mencekam yang aku rasakan. Satu-satunya yang kurasakan sekarang hanyalah kesal karena misi gagal total.

Yang benar saja Mak Tarmin ini, masa aku sebagai korban disuruh cari motif pelaku. Ya mana aku tahu! Haruskah aku sewa pengacara gaib untuk mengungkap semuanya? Aku hanya bisa tertawa pasrah.

 “Kayaknya, gue butuh second opinion. Paranormal lain siapa tahu kasih solusi yang berbeda,” kata aku sambil melirik Ori.

Lihat selengkapnya