The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #16

Bab 15

Your brain is you. It’s a beautifully complicated machine, generating all of your thoughts, memories, beliefs, hopes, dreams, experiences, and predisposition. Your brain is who you are.”

Itu bunyi kutipan dari buku yang sedang aku baca—The Brain: The Story of You karya David Eagleman, seorang neuroscientist asal Amerika Serikat.

Menurut buku ini, yang membentuk siapa diri kita adalah otak kita. Otak kita adalah identitas kita! Di sinilah memori dan kesadaran kita tersimpan.

Perlahan kedua tangan ini menyentuh kepala dan mulai bertanya, otak siapa yang ada di dalamnya?

Kalau merujuk kepada buku Eagleman, jawabannya jelas adalah otakku alias otak Milan. Jadi otakku berada dalam tubuh Madrid?

Oke, katakanlah benar, tapi bagaimana caranya?

Apa ada dokter bedah yang “membongkar” kepalaku dan Madrid dan memindah tempatkan isinya?

Kalau begitu, tinggal bongkar lagi saja kepala kami kemudian tukarkan lagi isinya?

Aku tertawa. Skenario seperti ini bukan lagi science fiction namanya tapi fantasi.

Transplantasi otak sangat mustahil dilakukan karena sederhananya otak dan tubuh merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling terhubung dan saling mempengaruhi fungsi masing-masing. Jaringan saraf yang sangat kompleks itu tentu tidak mudah untuk dihubungkan kembali apa bila terputus.

Aku menyandarkan punggungku seraya membuang napas. It’s been four days, and I’m still completely in the dark.

“Di sini rupanya,” kedua teman Madrid menghampiriku.

“Tuh kan gue bener, dia ada di perpus.”

Mereka berdua duduk di hadapanku.

 “Apa lagi?” tanyaku, malas.

“Kita punya usul baru, gimana kalau kita nemuin tokoh agama?”

Aku melihat ke arah mereka sekilas kemudian fokus kembali ke buku yang aku baca.

“Lo liat kemarin kan bagaimana paranormal profesional aja sukses dijegal. Berarti yang kita hadepin ini makhluk super kuat.”

“Biasanya kan dark force hanya bisa dikalahkan oleh light force,” tutur Francisco. “Jadi kenapa nggak coba pake kekuatan spiritual?”

“Kayak di film-film horror tuh. Iblis selalu kalah sama tokoh religius,” tambah Gavin. “Kuntilanak? Kalah sama ustad! Valak? Kalah sama pastur! Nang Nak? Kalah sama biksu!”

Aku tersenyum dan menutup bukuku. “Terus tokoh agama mana yang mau kalian temui?”

“Semuanya!” balas mereka berdua serentak.

“Kalian bercanda?” 

“Seriuslah,” seru Gavin. “Kita coba aja satu-satu, kalau tokoh Agama A nggak berhasil kita pindah ke yang B.”

“Repot sih, tapi ya mau gimana lagi, kita kan nggak tahu mahkluk ini kompatibelnya sama yang mana,” timpal Francisco.

Aku menggelengkan kepala kemudian bangkit, hari ini aku sama sekali tidak selera menanggapi omong kosong mereka. Aku berjalan ke luar, melewati koridor, dari belakang seseorang menarik pundakku.

“Apa lagi sih!”

Kupikir Francisco atau Gavin ternyata bukan!

Aku mengernyitkan kening karena tidak tahu dia siapa. Tapi di seragamnya tertempel nama Kevin.

“Lu beneran kemarin jalan sama Kania?”

“Kania? Siapa dia?”

“Mantan gua.”

“Hubungannya sama saya?”

“Kania bilang lu udah jadian sama dia.”

“O ya? Sejak kapan?”

“Kemarin.”

Aku menatapnya prihatin. “Dia bohong. Kemarin saya bolos dan saya sama sekali nggak berkomunikasi sama siapa tadi? Tania.”

“Kania! Tapi–”

“Tapi apa?” tanyaku tajam. 

Dia diam, seperti berusaha mencerna sesuatu. Aku maju satu langkah.

“Bilangin ya sama perempuan itu, jangan seret-seret nama orang sembarangan. Kamu juga! Jangan bikin drama nggak penting!” Aku menggelengkan kepala saking tidak habis pikirnya. “Kalian berdua deserve each other,” tandasku kemudian balik badan. “Sama-sama norak!”

Aku langsung jalan. Kesal! Baru juga dua langkah pundakku ditariknya. “Apa la–” 

Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena kepalan tangannya, mendarat cepat di hidungku. 

Kaget, aku sampai terjungkal, dengan punggung terbentur ke lantai. 

Orang-orang mulai berkerumun, dan bergunjing. Aku mulai merasakan darah meleleh di hidungku atau sebenarnya hidung Madrid.

“Mamad!” Gavin muncul dari kerumunan dan membantuku bangkit.

“Pasti lu orangnya!” Francisco menarik baju Kevin dan mendorong tubuhnya ke tembok.

“Iya! Mau apa lo?”

Kepalaku mendadak pusing. Sejak kapan aku menjadi bagian dari drama konyol anak SMA? Aku tidak terima! I didn’t sign up for this level of stupidity.

“Ada apa ini kumpul-kumpul di sini?” seorang guru perempuan lewat. Matanya membelalak saat melihat ke arahku. Buru-buru dia mengawalku ke ruang UKS. 

 Setelah memeriksa hidungku, perawat bilang aku tidak perlu cemas. Dia hanya menyuruhku berbaring dan mengompres hidungku dengan ice-pack. 

“Kamu boleh di sini sampai jam pulang,” katanya dengan wajah prihatin. Dia kemudian ke luar ruangan dengan membawa selembar kertas.

Aku tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi padaku. Situasi di sini ternyata lebih problematik dari yang aku antisipasi. Aku harus cepat-cepat kembali ke tubuhku. Lama-lama di sini, hidupku bisa berubah jadi sinetron.

 “Lu nggak apa-apa kan?” Francisco tiba-tiba masuk.

Aku mengangkat ice-pack di hidung. “Kelihatannya?”

“Kok lu bisa berantem sama si Kuman?”

“Kuman?”

“Iya, Kuman yang nonjok lu tadi.”

Aku mengangkat bahu. “Saya lagi jalan, tiba-tiba dia nyerang dari belakang.”

“O ya?” Francisco mendecak. “Belagu banget itu makhluk bersel satu!”

Gavin tiba-tiba nyerobot masuk. “Bro Menurut intel, si Kuman kena suspens dan langsung dipulangin.”

“Oh. Baguslah!” kataku.

“Bagus apanya? Kita jadi nggak bisa kasih serangan balasan.”

“Nyantai Pin, paling juga cuma tiga harian.”

Gavin tertawa. “Enaknya kita apain si Kuman?”

“Kalian, kalau mau berbuat aneh-aneh, tunda dulu deh, sampai saya dan Madrid balik ke posisi masing-masing. Biarin hidup saya tenang sampai saya nemu jalan keluar dari masalah ini,” tandasku sambil kembali mengompres hidungku dengan ice-pack.

Lihat selengkapnya