Setelah memar di hidungku maksudku hidung Madrid mendingan, aku minta izin untuk langsung pulang saja. Dengan kondisi seperti ini, percuma mengikuti pelajaran.
Saat aku ke kelas untuk mengambil tas, orang-orang langsung berkerumun di sekitarku.
“Mad kok lo bisa kalah sih?”
“Katanya titisan Bruce Li!”
“Si Kuman pasti main curang ya?”
“Gimana sih tadi ceritanya?”
Aku hanya fokus memasukan buku-buku ke dalam tas tanpa memperdulikan ocehan mereka. Begitu selesai aku langsung berjalan ke luar.
“Mau pulang ya?” seperti biasa Francisco dan Gavin menghadang. “Kita anterin.”
“Kita udah depet surat izin kok, tenang,” timpal Gavin.
“Kalian temannya Madrid atau babysitter-nya? Saya bisa pulang sendiri.”
“Masalahnya, bahaya kalau lu pulang sendirian. Si Kuman banyak antek-anteknya. Kalau ada serangan susulan gimana?”
“Oh, begitu ya?” Aku tersenyum geli. Aku sangat naif menganggap drama konyol ini sudah tamat, rupanya masih berpotensi berlanjut ke Season 2.
“Bener! Kita berdua udah janji sama si Mamad, buat jagain bodinya jangan sampai kenapa-kenapa.”
“Kalau terjadi sesuatu sama salah satu dari kalian berdua, nanti nggak bisa tuker balik, ya kan?” kata Francisco.
Aku terdiam. Yang dikatakan Francisco barusan masuk akal. Untuk skenario ekstrim, jika salah satu dari kita ada yang mati, maka selamanya kita tidak bisa kembali ke identitas masing-masing.
Ngomong-ngomong soal kematian. Jika hari ini aku mati ditusuk preman, siapa sebenarnya yang mati? Aku atau Madrid?
Kenapa hal seperti ini baru terpikir olehku?
*****
“Gimana tadi di ruang BK?”
“Parah! Cuma masalah nilai anjlok aja sampai selebay ini,” balasku sambil menenggak minuman bersoda. Hari ini entah kenapa aku tidak selera makan. Perutku rasanya penuh.
“Kayaknya bukan masalah nilai aja, tapi sikap kamu di kelas emang beda banget sama Milan yang biasanya.”
“Iya, ibu itu bilang kalau si Milan siswi teladan.”
“Emang!”
Aku tertawa geli. “Kok bisa dia lebih pinter dari gue? Padahal gue duluan yang bisa baca bahkan gue duluan yang bisa ngomong. Tu anak lelet abis mana suka bengong sendiri.”
“Wah?”
Aku mengangguk. “Karena gue bisa baca duluan. Dia sering minta gue bacain buku. Gue inget dia paling suka cerita Dr Jekyll dan Mr Hyde. Itu manusia 2in 1.”
“Sekecil itu?”