The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #21

Bab 20

Hari senin, terror berdarah akhirnya berhenti. Ternyata bisa juga aku survive melewati masa kelam ini. Seorang Madrid memang tidak mudah ditumbangkan!

Saat berjalan melewati gerbang sekolah, Ori tiba-tiba berlari menghampiriku kemudian menanyakan keadaanku. Sepertinya dia benar-benar khawatir. Atau kemarin aku memang se-mengkhawatirkan itu?

“Mendingan,” balasku. “Makasih ya, sori kalau ngerepotin.”

Kita berdua santai berjalan menuju kelas.

“Nggak masalah, dulu juga aku panik pas pertama kali da–” kalimat Ori mendadak berhenti. “Eh sori, kadang aku lupa kalau kamu bukan Milan, bukan perempuan,” tambahnya pelan.

“Itu juga yang gue takutin, gue lupa sama diri gue sendiri,” aku menghela napas.

“Hal itu emang nggak bisa dihindari,” Wolf tiba-tiba ada di belakang kami.

“Seriusan?” aku dan Ori mundur ke belakang, kita bertiga jalan beriringan.

Wolf mengangguk. “Manusia makhluk yang sangat adaptable. Kalau mau survive ya pelan-pelan kamu juga bakalan beradaptasi,” tuturnya enteng.

Beradaptasi? Langkahku kakiku berhenti. Maksudnya aku beradaptasi jadi si Milan? Jadi perempuan? Tubuhku tiba-tiba menggigil. 

“Tenang, pasti ada jalan keluarnya,” Ori berusaha menghiburku, “Aku yakin kamu bisa kembali jadi Madrid.”

Kata-kata Ori kembali membangunkanku. Dia mengingatkanku pada tekadku kemarin untuk tidak menyerah apa pun yang terjadi. Aku dan Ori melanjutkan langkah mengejar si Wolf.

“Ori bener, gue pasti balik lagi jadi Madrid. Gue nggak akan nyampe ke titik itu,” protesku pada si Wolf.

“Tergantung,” balasnya santai.

“Tergantung apaan? Dari pada nakut-nakutin, mendingan lo bantuin gue mikir cara ngelawan ini kutukan.”

“Sudah kok."

“Aslinya?” tanyaku tak percaya sekaligus senang. “Jadi gimana?” aku langsung menghadang jalan si Wolf buat masuk ke ruang kelas.

“Nanti pas istirahat, sekarang waktunya belajar,” dengan cueknya ia melenggang melewatiku kemudian duduk di bangkunya.

Itu anak tidak tahu caranya menyusun skala prioritas. Jelas-jelas nasibku lebih penting dari pada pelajaran di kelas.

“Sabar, 2-3 jam lagi,” kata Ori, menepuk pundakku kemudian dia pun duduk di bangkunya.

Aku pasrah dan duduk di bangkuku. Guru juga sudah datang dan mulai mengoceh. Kali ini aku pura-pura mendengarkan. Aku ogah masuk ruang interogasi lagi.

Diam-diam, di balik buku paket, aku membuka ponsel. Aku sudah kirim email ke beberapa paranormal internasional, mengenai kutukan body-swap ini. Ternyata sudah sudah ada yang menjawab. Dengan tangan sedikit bergetar, aku buka email dari Barbara Brown, seorang psychic terkenal asal Amerika Serikat.

Dalam email-nya dia mengatakan kalau untuk asesmen yang lebih akurat dia perlu mewawancarai aku dan Milan, untuk memastikan body-swap ini benar-benar terjadi.

Paragraf selanjutnya, dia juga bertanya apakah sebelum peristiwa body-swap ini, aku dan Milan pergi ke tempat-tempat yang dianggap keramat atau menyentuh objek-objek mistis yang berpotensi memiliki kutukan. Kemudian, apakah aku pernah melakukan ritual atau membaca mantra tertentu yang men-trigger kutukan body-swap ini.

Aku diam sejenak dan berusaha mencerna dan meng-highlight poin-poin penting isi email barusan.

Tempat keramat? Objek-objek mistis? Ritual? Mantra?

Hari sebelum kejadian, aku dan Milan pergi ke pemakaman di mana ratusan kuburan ada di situ. Apa ini bisa dianggap tempat keramat atau mistis?

Tapi di sana juga kami berempat cuma berdoa dan… kalau aku tidak ingat sedang di ruang kelas, mungkin aku sudah berteriak. 

Waktu itu aku baca puisi! Puisi sama dengan mantrakah?

Apa puisiku bisa membangunkan makhluk tak kasat mata yang ada di situ? Saking indahnya?

Tapi sebelum-sebelumnya juga aku baca puisi tapi tidak terjadi apa-apa. Apa karena kali ini kebetulan aku dan Milan sama-sama ada di situ. 

Lihat selengkapnya