Begitu bel istirahat, aku dan Wolf langsung nongkrong di taman belakang sekolah. Kita mencari tempat paling sepi yaitu di paling ujung dekat pohon, di sana terdapat meja dan kursi batu persegi panjang. Kami pun duduk berhadap-hadapan. Ori sendiri nanti menyusul karena dia harus ke ruang BK untuk konsultasi persiapan masuk universitas.
“Jadi gimana solusinya, Wolf?” desakku. “Waktu gue nggak banyak. Kalau bisa hari ini juga gue harus balik jadi Madrid.”
“Kamu siap?”
Aku mengangguk.
“Saya curiga, ibu kamu dalang di balik semua ini.”
Mendengarnya mulutku menganga sepersekian detik kemudian tertawa saking tidak masuk akalnya.
“Karena itu lo minta fotonya? Sarap lo ah!”
“Ibu kamu kan sudah meninggal jadi beliau bisa dikategorikan sebagai entitas supranatural,” Wolf tersenyum seolah dia sendiri tidak percaya dengan yang dia ucapkan, “yang mungkin memiliki kemampuan yang nggak bisa dijelasin oleh akal sehat.”
“Masa ibu gue sih Wolf? Mana tega dia ngutuk anak-anaknya sendiri!”
“Iya itu dia, motifnya masih belum jelas.”
“Parah lo asal nuduh sembarangan!”
“Saya nggak nuduh sembarangan. Semua berawal dari makam ibu kamu kan? Pulang dari sana kamu sama Milan bertukar tempat.”
“Ya bener tapi ...,” kalimatku terhenti, tiba-tiba aku teringat email dari Barbara dan puisiku yang mengandung kata ‘bangkit’ dan ‘hantu’.
“Tapi di situ kan banyak makam, bisa aja makam sebelahnya yang iseng sama kita berdua. Gue harus cari tahu penghuni makam-makam sekitar. Salah satunya pasti mantan penyihir,” lanjutku.
“Jangan jauh-jauh, yang deket aja dulu, yaitu makam ibu kamu,” balasnya datar.
“Nggak mungkin! ibu gue orang baik, pastinya sekarang lagi nyantai di surga. Ngapain dia iseng nge-prank gue sama Milan?”
Wolf menyalakan iPad-nya, siap mencatat. “Kamu masih ingat, hari-hari terakhir ibu kamu seperti apa? Ada yang janggal enggak?” tanyanya, masih sok-sokan jadi detektif spirit. Ini orang pasti kebanyakan nonton anime klasik Yu Yu Hakusho.
“Hari-hari terakhir?” Aku diam sebentar, menerawang. “Gue terakhir liat dia pas dia pamit dari rumah. Ninggalin kita berdua,” aku menggeleng, “kita bertiga.”
“Bertiga?” pandangan Wolf lurus ke arahku.
“Gue, Milan, sama bapak gue.”
“Maksudnya Ibu sama bapak kamu?”
Aku mengangguk. “Mereka pisah.
“Oh,” pandangan Wolf kembali ke iPadnya. “Terus?”
“Pagi-paginya pamit, beberapa minggu kemudian kecelakaan,” kataku pelan kemudian senyum. “Padahal sebelum pergi, dia janji sama gue, sama Milan kalau dia bakalan balik lagi. Dia akan selalu ada buat kita.”
“Janjinya nggak terpenuhi?” Wolf mengangguk. “Menurut kacamata supranatural, spirit orang yang meninggal nggak bisa beristirahat dengan tenang kalau misinya di dunia belum selesai.”
“Karena itu dia masih di sini?”
“Macam-macam, bisa juga karena revenge.”
“Revenge? Ibu gue? Revenge sama siapa? Gue sama Milan?” Aku tertawa. “Kocak lo! teorinya kejauhan.”
“Ya mungkin bukan sama kalian,” Wolf diam sejenak menarik napas. “Mungkin sama bapak kamu?”
“Bapak gue?” tawaku kembali pecah. “Makin liar aja teori elo!”
“Itu mereka pisah, berarti hubungannya nggak baik kan?”
“Hubungan mereka baik-baik aja. Nggak semua orang yang pisah itu musuhan, Wolf. Lo mainnya kurang jauh ah.”
“Jadi nggak ada masalah sama bapak kamu?” Wolf kembali mengangguk.
“Nggak ada. Bapak gue orang baik, terlalu baik malah.”
“O ya? Milan kayaknya nggak sependapat, buktinya dia lebih milih tinggal sama neneknya.”
Mulutku mendadak menganga. Lancang betul ini mahluk! Aku menarik napas dalam. Butuh waktu untuk merangkai kata.
“Ya itu karena nenek gue kaya raya, si Milan mau hidup enak.”
“Kamu yakin alasannya karena itu?”
“Ya apalagi coba?”
“Kamu yakin Milan, kembaran kamu orang seperti itu?”