The Strange Case of Milan and Madrid

Galilea
Chapter #23

Bab 22

Jam satu kurang 10 menit, kita bertiga meluncur ke Jakarta. Aku duduk di belakang. Francisco dan Gavin duduk di depan. 

Ponselku kembali bordering dan langsung aku serahkan kepada Gavin. “Kamu yang ngomong saya lagi males.”

Hola Bonita,” Gavin cekikikan. Ia kemudian menyalakan mode loudspeaker.

Heh Diablo, kok elo yang angkat, yang punya hape ke mana?”

“Ada tuh di belakang tapi lagi bad-mood.”

“Huh! Bilangin dia jadi kan ke sini?”

“Jadi! Nih kita bertiga lagi jalan.”

“Bertiga? Lo sama Pancho ikut, naik apa?”

“Mobilnya Pancho, siapa lagi.”

“Nggak sabar nih ketemu Mamad Girl!” timpal Francisco.

“Sarap!”

Mereka terus mengobrol ke sana ke mari. Hingga akhirnya Madrid memutuskan sambungan karena dia harus masuk kelas.

Gavin mengembalikan ponsel kepadaku. 

“Jadi kita jemput dulu Mamad di sekolah?”

“Yuhuuu!”

*****

Aku, Ori, Wolf berdiri di depan gerbang sekolah sambil melihat ke kiri dan ke kanan.

“Belum ada ya?” tanya Ori.

“Bentar lagi katanya,” balasku sambil mengetik di ponsel. 

“O ya, ini pertama kalinya kita bakalan ketemu, ya maksudnya physically,” kata Ori.

Pandanganku beralih dari ponsel ke Ori. “Eh iya ya, kok tiba-tiba jadi deg-degan?”  

“Eh?”

“Itu mereka bukan,” sahut Wolf.

Dia menunjuk “tiga” sosok laki-laki berseragam putih abu-abu.

“Ah iya,” balasku, “itu gue yang tengah, yang paling cakep he he ….”

“Hmmm...kamu jauh lebih tinggi ya dari Milan,” kata Ori.

“Nggak mirip kan?”

Mereka bertiga mendekat dan otomatis aku langsung mengalungkan ke dua lenganku di pundak Pancho dan Upin. Tentu saja kali ini aku harus jinjit.

“Gimana nih kabarnya mahluk-mahluk imbécil,” sapaku, mempererat rangkulan.  

Pancho dan Upin dengan cepat-cepat melepaskan diri. Mereka kemudian memperhatikanku dari ujung rambut ke ujung kaki. 

“Aslinya lu jadi cewek Mad,” kata Pancho melongo.

Upin mengangguk. “Mamad the Ladyboy.

“Apa lo bilang Pin?” Aku mengunci lehernya dengan lenganku, erat. “Sekali lagi!”

“Becandaa Bro,” katanya terkekeh. “Maksud gue ladybug, kumbang.”

Aku melepaskannya dan menghampiri Milan yang berwujud diriku. Aku menghela napas lega, hidung Zac Efron-ku ternyata baik-baik saja. 

Melihat sosok Ori, Milan sedikit terhenyak. Aku langsung berdiri di samping Ori.

“Ori bagian dari Madrid’s Squad, dia tahu semuanya,”

Ori tersenyum kaku. “Apa kabar, Milan?” sapanya berusaha ramah.

Tapi dasar si Milan dia hanya membalas dengan helaan napas, pandangannya langsung beralih ke si Wolf. Ternyata kalau aku jutek seperti itu? Tetap keren!

“Ingat, habis dari makam, kalian pulang ke rumah berdasarkan identitas asli masing-masing!” cetus Wolf.

“Sip gue berarti ke Bandung ya?” 

Wolf mengangguk.

“Luar biasa!” Milan tersenyum geli. “Saya terkesan dengan totalitas kamu menyelami dunia supranatural dan permistisan.”

Wolf mengangkat bahu. “Kamu ke sini artinya kamu percaya teori-teori saya.”

“Sebaliknya, saya ke sini mau buktiin kalau teori-teori kamu nggak bener.”

Let’s see then, siapa yang bener di antara kita.”

“Jangan di sini dong ngobrolnya, gimana kalau kita ngopi-ngopi dulu di kantin,” usulku.

“Nggak!” Milan langsung muter dan berjalan ke arah mobilnya si Pancho.

Tanpa basa-basi si Wolf juga bubar.

Goodluck ya,” Ori pun pamit.

“Eh belum kenalan,” Upin menyodorkan tangannya ke Ori sambil cengengesan. “Gavin.” 

Sebelum Ori menyalaminya, aku langsung menyeret Upin. “Lo jangan banyak tingkah di sini!”

*****

Lihat selengkapnya