Beres?” tanya Pancho saat aku keluar area pemakaman. “Itu si Milan tadi pergi duluan.”
“Kita nyapa aja nggak didengar. Lempeng masuk taksi,” timpal Upin.
“Biarinlah suka-suka dia.”
Aku langsung duduk di kursi depan, kepalaku yang berat langsung aku sandarkan ke belakang.
“Gimana tadi?” tanya Pancho, menyalakan mesin mobil kemudian tancap gas.
“Ya gitu,” balasku sambil mengangkat kedua kaki kemudian menyilangkannya. “Ada makanan gak? laper gue.”
“Nanti di jalan beli gorengan,” Francisco menoleh ke arahku kemudian reflek lurus ke depan. “Itu kaki turunin bisa nggak?”
“Kenapa? Gue biasa kayak gini.”
“Inget bodi dong, jadi cewek musti anggun,” sambar Upin di belakang.
Aku menurukan kakiku kemudian menoleh ke belakang, siap menerkam si Upin. Tapi dia langsung mengangkat tangan dan minta ampun. Biasanya kita seru-seruan sambil baku hantam.
“Lo berdua nggak asyik,” pandanganku kembali ke depan, kepala bersandar.
“Maklum dong kita belum biasa sama Mamad dengan wujud cewek.”
Aku menghela napas. “Gimana gue di sekolah? pasti pada heran gue jadi aneh?”
“Iya, terutama elo yang bloon tiba-tiba jadi jago matematika.”
“Lu musti liat ekspresi guru-guru Mad, gokil abis.”
Kita bertiga tertawa.
“Eh tapi gue nggak bloon, gue cuma males mikirr.”
“Ya kan bloon akibat males mikirr!”
“Bukannya bawaan lahirr ya kayak elo Pin?”
Kita bertiga kembali tertawa. Sudah lama aku tidak tertawa lepas.
“Si Milan sendiri gimana?” tanya Pancho, “Pasti orang-orang di sekolahnya pada syok.”
“Iyalah mereka syok, Si Milan yang biasanya boring nggak jelas menjelma jadi manusia seru dan mempesona,” balasku sambil cekikikan.
“Tapi temennya yang cewek cakep ya.”
“Ori? Itu temen gue, si Milan mah nggak punya temen.”
“Introvert ya, beda banget sama lu Mad,” ujar Pancho.
“Pantesan kalian nggak akur,” timpal Upin.
“Iya, tapi bukan itu alasannya.”
“Apa atuh?”
Aku tidak membalas, hanya melihat ke luar jendela.
****