Milan berdiri di koridor sekolah dengan santai, bagian sisi tubuhnya menyandar ke tiang, wajahnya tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya.
“Sudah denger kan saya diterima di universitas yang saya mau?” Seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya, pandangannya lurus ke lapangan.
“Oh. Congratulation,” balas Milan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. “You deserved it.”
“Kamu juga bakalan diterima di universitas itu, seandainya berkasnya nggak kamu tarik lagi.”
“Saya mutusin buat kuliah di Jakarta.”
Gala menoleh ke samping kemudian tersenyum geli. “Biar bisa kumpul keluarga ya? With your dad and your silly twin?”
Milan diam sejenak, beralih dari bukunya, menatap jauh ke lapangan. “Mungkin.”
“Luar biasa! Kayaknya saya nggak akan sanggup ngelakuin hal semacam itu.”
“Hemh?” Milan menoleh ke arah Gala.
“Putting others before myself,” tandas Gala menyeringai. “My goal, my mission, will always be my top priority.”
“Of course, ‘selfish’ is your middle name.”
“Ciyee, yang nama tengahnya ganti jadi ‘selfless’ sejak kapan?”
Milan menutup bukunya keras sampai terdengar suaranya. Matanya lurus menatap Gala.
“I might see things differently now, but I’m still the same person.”
“Oh. Baguslah! I like the way you are.”
“So do I.”
Mereka tertawa.
“O ya, jangan heran pulang kuliah di sana, saya jauh lebih hebat dari kamu.”
“Yakin? Universities these days are basically just social clubs. Apa yang kamu pelajari di sana, bisa dengan gampang saya dapatkan di sini.”
“So the war's still going on?"
"It's just getting started.”
Gala tersenyum menatap jauh ke lapangan. “Ngomong-ngomong soal taruhan, kamu nggak perlu deklarasi konyol itu.”
“Kenapa? Prediksi kamu benar.”
“Ya. Tapi sepertinya cuma kebetulan.”
Gala sadar bahwa kesimpulan yang dia tarik bukan hasil murni dari pemikirannya. Semua berawal dari sosok yang dilihatnya di halaman rumah Mak Tarmin. Tidak semua orang bisa melihat entitas supranatural kan? Dan hal itu ia anggap sebagai bentuk kecurangan.
“Kebetulan atau bukan, kamu tetap pemenangnya. Saya yang kalah.”
Gala mengangkat bahunya. “Ya sudah kalau kamu nggak masalah.”
“Nggak sama sekali. Lagi pula it’s not that bad.”
“Maksudnya?
“Putting aside your ego to lift others up,” Milan tersenyum kemudian melirik Gala dengan sudut matanya, “Actually, it’s kinda fun.”
“Really?”
“Ya. But too bad, orang seperti kamu nggak akan pernah tahu sensasinya.”