The Strawberry Surprise

Bentang Pustaka
Chapter #1

Prolog

Stroberi itu buah penuh kejutan. Rasanya kadang manis, kadang masam. Seperti memiliki kemungkinan yang tidak terduga. Contohnya dari semangkuk penuh stroberi. Ambil satu stroberi. Angkat dan perhatikan baik-baik. Daging buahnya merah, berbintik-bintik cerah. Coba gigit, lalu kunyah-kunyah. Bagaimana? Uh! Masam! Kecut sekali!

Sekarang ambil satu lagi stroberi yang lain. Kali ini ia terlihat biasa saja. Tidak terlalu merah. Berbintik-bintik menyedihkan. Bahkan, permukaan yang berada di dekat daun berwarna kuning, seolah terlalu banyak terkena sinar matahari. Sekarang coba gigit, kunyah, dan rasakan. Bagaimana? Ternyata ... manis! Sangat manis!

Nah, kisah cinta lebih kurang seperti itu. Seperti stroberi.

Aggi menatap bayangannya di cermin rias di kamarnya dengan perasaan campur aduk. Antara cemas dan seru. Dia mengetuk-ngetukkan jari kaki, menunggu waktu yang tepat untuk ... ah, Aggi mendekatkan wajah. Lipstiknya sedikit berlebihan. Dia menghapus bagian yang keluar dari garis bibir. Lalu, memperhatikan bagian wajahnya yang lain. Lihat dia sekarang. Wajahnya sudah dirias. Alas bedak, bedak, celak, pemulas mata, bulu mata palsu, perona pipi, lipbalm-lipstik-lipgloss. Begitu lengkap. Ibu dan saudara-saudaranya yang lain sampai pangling. Kata mereka, dia tampak begitu cantik, tidak seperti Aggi yang biasanya.

Perempuan itu kini mengenakan kebaya putih lengan panjang, dilengkapi kain merah muda membelit pinggang. Jarit panjang dengan warna dasar cokelat muda—sekarang lebih ringkas dengan dibalut menjadi semacam rok panjang sempit dengan ritsleting di bagian samping—tersampir licin halus di atas kasur. Aggi sudah mencobanya; pertama sewaktu mengepas kebaya, lalu kemarin, dan tadi pagi untuk memastikan. Menurut fungsi sebenarnya, ukuran jarit sudah tepat. Untuk kesempatan kali ini jarit itu menjadi terlalu sempit. Kakinya tidak bisa bebas. Sekarang Aggi telah menggantinya dengan mengenakan celana panjang jin.

Sepatu-sandal bertali dan bertumit tinggi telah diletakkan hati-hati di salah satu kaki tempat tidur. Namun, segera dia tersadar, sepatu ketsnya masih di luar kamar, lupa tidak dibawanya masuk. Dan, kalau dia keluar sekarang, bisa ketahuan. Akhirnya, Aggi memungut kembali sepatu-sandal itu tanpa ada niat mengenakannya. Namun, lebih baik dibawa saja.

Pintu kamar tertutup rapat. Sekarang pukul enam pagi. Masih ada dua jam waktu tersisa.

Sejak beberapa minggu lalu Aggi sudah memutuskan. Kebaya dan kepala berhias bunga-bunga bukan masalah. Mungkin nanti akan sedikit panas menyengat. Dandanan akan luntur. Ibu perias sedikit mengomel sambil tetap dengan cekatan membenahi dandanan. Sementara itu, Ibu pasti akan mengomel panjang karena terlampau panik dan cemas. Lalu, Ibu akan menyalahkan Ayah di belakang. “Ini gara-gara wejangan singkat itu!” Ayah hanya diam, memandang ke arah istrinya. Ayah tidak mengiyakan, tapi juga tidak protes. Tatapan matanya paham dengan apa yang Aggi lakukan. Ada sedikit tarikan senyum di ujung bibirnya. Aggi si anak perempuan Ayah.

Aggi beranjak membuka jendela. Udara pagi di luar terasa nyaman, sejuk, dan menyegarkan. Dia melongok. Sepi. Jalan sempit beraspal di bagian belakang kamarnya lengang. Tidak ada yang lewat. Dia melempar sepatu-sandalnya keluar, jatuh bergedebuk ringan di jalan.

Di luar kamar mulai terdengar suara-suara mengatur kesibukan. Ayo, Keponakan-Keponakan! Antre didandan! Yang besar dulu. Yang kecil sana sarapan!

Aggi melompat naik dengan ringan. Pantatnya mendarat di kosen jendela, lalu kedua kakinya ditekuk sebelum diayun ke luar. Kini dia dalam posisi duduk yang menghadap ke arah luar.

Satu, dua, tiga ... anjlok!

Aggi merasa kakinya seperti terserang sengatan listrik saat jatuh menapak tanah. Seperti kesemutan, tapi menyengat. Dia membungkuk mengaduh, lalu tertawa. Ini mendebarkan dan menyenangkan. Dia memijit sebentar kakinya sambil kepalanya mencari-cari. Kenapa masih tidak tampak siapa-siapa? Apa dia lupa?

Setelah kakinya mendingan, Aggi memungut sepatu-sandal dan menegakkan tubuh.

Mungkin dia berada di agak depan.

Saat berjalan, manik-manik penghias kebayanya berkilap-kilap. Manik-manik itu menyilaukan dengan cara indah, memantulkan sinar matahari pagi. Ikat pinggang kain bergeser agak ke atas. Sedikit kusut—aduh. Sepatu-sandal bertumit itu kini berada dalam pegangan tangan kanan. Aggi mengangkat tangan kiri ke pelipis. Menghindari silau matahari. Sebulir keringat tipis mengalir dari dahi ke pipinya. Tiba-tiba ....

Ceklek.

“Berhenti berjalan. Seperti itu. Ya. Jangan bergerak.”

Lihat selengkapnya