The Strawberry Surprise

Bentang Pustaka
Chapter #2

1

Flu yang menjengkelkan. Kepala Aggi berdenyut setiap beberapa menit sekali. Dia pulang ke rumah dalam keadaan setengah teler. Di kafe kantor dia sudah minum dua gelas jeruk hangat. Namun, tidak begitu banyak membantu. Awalnya baik-baik saja sampai dia selesai memastikan katalog terpak rapi dan diletakkan di meja ruang pameran. Jumat malam kepalanya mulai pusing-pusing, bersin berkali-kali, dan gusi terasa linu. Dia minta izin pulang agak cepat. Pukul delapan sudah sampai rumah. Saat hendak membuka pintu rumah, seorang tetangga mengantarkan sebuah paket dalam bungkus cokelat. Aggi mengucapkan terima kasih, lalu meletakkan paket itu di meja. Karena tidak segera disentuh, dia menjadi lupa begitu saja. Dia makan setangkup roti tawar isi selai stroberi, minum banyak air putih hangat, dan langsung tidur.

Sabtu pagi Aggi masih berangkat kerja. Pukul tujuh malam nanti ada pembukaan pameran. Namun, alih-alih di galeri, dia lebih banyak berada di kantor, sibuk dengan hidungnya yang terus-menerus meler, diselingi bersin berkali-kali.

“Tidak. Kamu beristirahat saja di ruangan. Akan aku kerjakan sendiri—hanya kurang sedikit. Bisa-bisa virus flumu menempel di lukisan.”

“Baik betul,” balas Aggi berpura-pura sewot. Sinta, rekan kerja seruangan, tertawa dan segera berlalu.

Aggi pergi ke kafe, memesan segelas jeruk panas. Malamnya dia malah demam. Tepat setelah pameran dibuka, Aggi meminta izin pulang cepat.

“Besok aku akan datang. Hanya perlu istirahat lebih malam ini.”

“Hari Minggu kamu di rumah saja,” kata Mbak Anita. “Datanglah kembali hari Senin dalam kondisi sehat.”

Setelah makan malam, minum banyak air putih, Aggi pergi tidur. Pukul tiga dini hari dia terbangun karena haus. Hidungnya sudah sedikit lega. Saat sampai di pintu kamar, hendak kembali tidur, dia berhenti dan berbalik. Dia melihat paket cokelat di atas meja ruang tengah. Hampir saja lupa begitu saja. Aggi mematikan lampu redup dan menggantinya dengan lampu putih terang. Dia menimang paket tersebut. Nama pengirimnya Peter. Hanya Peter. Beralamat kirim Bandung. Sejauh yang mampu diingat Aggi tidak punya teman bernama Peter dan tinggal di Bandung.

Aggi merobek kertas pembungkus. Isinya sebuah buku Kisah Mata dari Seno Gumira Ajidarma. Di halaman pertama tertulis “Selamat Membaca”. Sudut tarikan garisnya tidak wajar, seperti dibuat-buat tidak sesuai tulisan asli si penulis. Aggi membuka-buka lembar halaman yang lain. Tidak ada keterangan apa-apa. Dia membaca sekali lagi nama pengirim, mencocokkan karakter nama dengan jenis buku yang dipilih. Siapa tahu mengarah ke satu petunjuk atau apa begitu. Peter dan Seno Gumira. Aggi mengerutkan kening. Tidak ada petunjuk yang bisa dibaca. Apa ini nama rekaan?

Aggi ingin meletakkan buku dan mencari tahu lagi nanti. Sebaiknya, sekarang dia segera kembali tidur. Lampu putih terang sudah dimatikan dan digantikan kembali oleh lampu redup. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Aggi sering menerima paket buku, majalah, atau undangan pameran. Kadang dia tidak kenal nama pengirimnya, dan setelah ditelusuri ternyata adalah salah seorang seniman yang pernah bekerja sama dengannya. Atau, dari saudara. Yang pasti ada nomor telepon yang tercantum di paket dan bisa dihubungi untuk dilacak.

Aggi berbalik. Menyalakan lagi lampu terang.

Nomor telepon di paket ini bernada tu-la-lit tidak tersambung ke mana-mana. Satu atau dua angka pasti telah dihilangkan. Aggi sebenarnya ingin mencoba-coba memasukkan beberapa susunan angka. Namun, mengingat ini pukul tiga dini hari, saat orang-orang tertidur lelap, dia urung. Mungkin cara lain. Aggi menyalakan laptop dan sambungan internet. Dia memasukkan nama Peter di Bandung, di mesin pencari.

Ding!

Muncul banyak sekali informasi yang berkaitan dengan Peter di Bandung. Mata perempuan yang masih setengah mengantuk itu menelusuri baris informasi satu demi satu. Tidak ada petunjuk yang membantu. Bahkan, ada satu petunjuk yang mengarah pada salah satu toko kecil pakaian loakan.

Aggi memasukkan alamat pengirim. Ada beberapa jenis usaha yang muncul dan berada di jalan tersebut. Sebuah biro iklan Build, toko kue Sweet Cupcake, swalayan, toko buku terbitan lama dan bekas Socrates, beberapa tempat usaha lain, rumah beberapa orang yang tidak dia kenal. Kursor berhenti pada baris ketujuh. Ada yang bernama Peter, berhubungan dengan kantor biro iklan Build yang muncul di baris pertama. Namanya Adrian Peter. Mungkin saja dia orangnya. Namun, tidak yakin. Tidak begitu akurat. Adrian Peter hanya satu di antara banyak kemungkinan Peter dengan nama depan atau belakang yang berbeda.

Tiba-tiba Aggi teringat beberapa pria yang dahulu pernah dekat. Apa ini dari salah seorang perupa yang pernah berhubungan dengannya? Atau, seniman yang baru saja pameran? Laki-laki yang menaksirnya? Thomas? Pak Wu? Atau, Wisnu? Tidak. Paket ini beralamat di Bandung, sedangkan Wisnu tinggal di Yogyakarta. Thomas jelas tidak mungkin. Apalagi, Pak Wu.

Tunggu sebentar.

Sekali lagi Aggi mengamati buku di atas meja. Kisah Mata. Buku mengenai fotografi. Si pengirim berarti tahu dia pernah mengadakan pameran tentang foto hasil kamera analog enam tahun lalu. Namun, masih terlalu banyak kemungkinan. Bisa jadi salah seorang teman Aggi, salah seorang teman rekan pameran fotografi Aggi, atau tamu pengunjung pameran yang dia sama sekali tidak kenal.

Aggi membaca halaman demi halaman.

"Dan Henri-Cartier menulis: mata seorang fotografer secara terus-menerus selalu mengevaluasi. Bahwa setiap momen adalah eksistensialisme, bukan hanya karena menunggu datangnya masa yang akan datang, melainkan juga karena dalam proses terus-menerus mengevaluasi itu yang ditunggu adalah sebuah momen yang bersamanya terdapat segenap keterhubungan yang terlibat, yang juga terus-menerus bergerak."

Oh!

Aggi merasa sakit kepala yang tadi berkurang kini datang lagi. Hidungnya mulai nyeri yang tidak mengenakkan. Berair. Aggi segera merenggut tisu di dekatnya. Dia bertambah penasaran. Siapa yang mengiriminya Kisah Mata tanpa identitas jelas!? Buku yang sebenarnya adalah tesis yang dikerjakan penulis demi menyelesaikan program studi strata duanya. Pendekatan-pendekatan filosofis ini .... Untuk main-main? Penguntit membahayakan? Atau, apa dan siapa?

Tunggu dulu.

Buku karya Seno Gumira Ajidarma tentang fotografi yang mengambil pendekatan filosofi ....

Tunggu dulu!

Seno Gumira Ajidarma! Fotografi!

Ada berbagai kemungkinan. Sastrawan satu itu memang luas jangkauan keilmuannya. Aggi berharap penyempitan dugaannya benar. Dia kembali mengetik di mesin pencari. Memasukkan sebuah nama. Hanya untuk memastikan.

Ding ....

Perut Aggi mendadak terasa mulas.

Tentu saja!

Pukul tujuh pagi, dengan tidak sabar Aggi melakukan panggilan telepon. Terdengar nada sambung. Dua kali. Tiga kali. Telepon diangkat. “Apa ada yang menghubungimu dalam waktu dekat ini?”

“Tidak.” Sinta menjawab dalam suara serak.

Aggi melakukan panggilan telepon yang kedua.

“Halo.” Kalimat pembuka yang sungguh menggugah. Dalam artian harfiah.

“Maaf, Mbak.” Aggi menyumpal kembali hidungnya dengan tisu. “Hanya saja, kalau aku tidak segera melakukan panggilan ini, ditunda nanti menunggu agak siang, aku bisa lupa.”

“Kamu sudah sembuh?”

“Mendingan,” jawab Aggi sengau.

“Baiklah. Karena aku sudah melek, kamu tadi bertanya apa?”

“Apa ada yang menghubungi Mbak untuk mencari informasi?”

“Hmmm ... tidak.”

“Mbak Anita yakin?”

“Tentu saja.”

Aggi diam sejenak. Matanya setengah menyipit karena berpikir. “Baik. Aku ganti pertanyaannya. Apa ada seseorang yang menghubungi Mbak dalam waktu dekat ini? Bukan seseorang yang Mbak kenal—tapi mencari informasi tentangku.”

“Hmmm ....”

Tanpa sadar Aggi menggenggam telepon terlalu kencang.

“Ya.”

Nah, iya, kan!

“Sebenarnya, aku akan menjawab tidak. Tapi, kamu pasti sudah tahu—ya.”

Aggi sadar telah bereaksi berlebihan. Dia melonggarkan cengkeramannya pada telepon.

“Perlu kusebutkan siapa dia?”

“Tidak.” Tangan Aggi yang bebas meraih buku dari atas meja dan menimang dalam pangkuan. “Aku hanya—ada yang mengirimiku buku.” Dengan cepat dia mengarang sebuah alasan. “Tulisan di bagian nama pengirimnya kabur. Tidak tampak jelas. Kena tetesan air.”

“Begitu?”

“Ya.”

“Jadi, kamu sudah menerima—kamu menerima kiriman buku, begitu?”

“Ya. Oleh karena itu, aku ingin memastikan.”

“Oh, ya!” Nada suara Mbak Anita seperti teringat sesuatu. “Aggi, apa kira-kira nanti kondisimu sudah lebih baik?”

“Maksud Mbak apa?”

“Kamu tidak ingin membaca buku kiriman itu di amfiteater Taman Budaya?”

Aggi merasa heran dengan pertanyaan itu. Amfiteater? Sebuah ruang terbuka yang cukup luas di bagian belakang Taman Budaya Yogyakarta (TBY)? Tempat untuk mengadakan pertunjukan teater atau tempat membaca puisi saat Festival Malam Purnama yang rutin diadakan setiap bulan? Ada apa di sana? Kenapa tiba-tiba bosnya ini dengan halus memintanya membaca buku misterius itu di amfiteater Taman Budaya? Apa dia digiring untuk melakukan sesuatu atau ... Mbak Anita telah diajak bersekutu dengan si pengirim buku?

“Menurutku, sebaiknya kamu membaca buku hadiahmu di amfiteater Taman Budaya. Nanti agak menjelang siang. Yaaa, sekitar pukul sepuluh. Matahari paginya masih bagus untuk kesehatanmu.”

Aggi ingin mengonfirmasi kecurigaannya, tetapi tidak jadi. Dia memilih cara lain. “Kalau aku tidak mau?”

“Sebaiknya, kamu menuruti perkataanku. Membaca buku itu kegiatan baik. Kamu bisa melarikan diri sejenak dari dunia nyata dengan membaca buku.”

“Pembicaraan Mbak seperti orang berjiwa kerdil. Kenyataan hidup saja tidak berani hadapi. Buku hanya sebagai pelarian. Kasihan betul nasibnya.”

“Ya. Aku tadi cuma mengarang-ngarang.” Terdengar tawa di seberang. “Aku ingin tidur lagi. Dan, kamu ... sebaiknya menuruti perkataanku.”

“Tidak akan.”

“Sebaiknya, kamu pergi membaca—atau kamu akan menyesal. Tidak. Atau, kamu akan kupecat.” Lalu, Mbak Anita tertawa. “Oh, tidak. Aku hanya bercanda. Tapi, sungguh, Aggi. Sebagai bos aku memerintahkanmu untuk membaca buku itu di tempat dan waktu yang kusarankan.”

“Ada apa ini, Mbak? Apa ada suatu rahasia yang perlu kuketahui darimu?”

“Tidak, Aggi.” Mbak Anita tersenyum. Aggi mendengar dengusnya saat bosnya itu tersenyum. “Aku hanya ingin membantu.”

Saat itu bulan empat. Hari pertama pada minggu pertama. Dan, siang itu Timur baru saja selesai makan siang. Dia membuka berkas presentasi kreatif final iklan cetak untuk pertemuan nanti sore dan tiba-tiba mendengar sebuah tawa. Tergelak lepas.

Timur menegakkan tubuh, menajamkan pendengaran. Dia kenal suara itu. Laki-laki itu bergegas keluar ruangan. Tidak ada siapa-siapa di lobi, hanya seorang resepsionis dan Tita di bagian depan.

“Ada apa?” tanya Tita.

Timur berlari keluar. Menuju halaman depan kantor. Nihil. Tidak ada siapa-siapa. Tidak seseorang yang dia kenal. Tidak terdengar apa-apa lagi.

“Kenapa, Timur?” tanya Tita lagi saat Timur kembali masuk.

“Halusinasi.”

“Slogan citra iklan parfum terbaru?”

Timur berhenti dan kembali ke meja resepsionis. “Ide bagus, Tita.”

“Kamu lupa? Produk dengan slogan citra tersebut sudah dirilis dua bulan lalu! Di mana kepalamu!?” sergah Tita. “Kamu tadi kenapa? Mengira si ehem-ehem datang mampir ke kantor, ya?”

“Siapa ehem-ehem?” tanya Teteh Resepsionis sambil berbisik.

“Nah. Sejak kapan urusan cinta personal menjadi perkara publik?”

“Sejak kamu menjadi pelupa barusan. Bukan sifatmu seperti itu.”

“Kembali bekerja, Tita!”

Tita tertawa. “Aku bahkan tidak memasang wajah bergosip!”

Timur melambaikan tangan tanda tidak mau lagi menanggapi perkataan Tita. Di depan layar monitor dia mengevaluasi kejadian barusan. Dia berhalusinasi mendengar suara tawa seseorang yang dia kenal. Sekilas ingatan tiba-tiba melintas, Tidak ada yang tahu bagaimana cara kenangan bekerja. Keluar-masuk ingatan seenaknya sendiri.

Sudah masuk tahun kelima. Timur tidak pernah memperhatikan kalender dengan tekun karena memang tidak ada tanggal pasti. Dia menjalani tahun-tahun yang telah berlalu dengan biasa. Memang ada kecewa pada tahun pertama. Tahun kedua dia menenggelamkan diri hanya dalam pekerjaan. Berangkat pagi. Pulang petang, bahkan larut. Menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, menghadiri rapat dengan kolega, presentasi di hadapan klien, mengecek hasil akhir editan pekerjaan, kadang melakukan perjalanan ke luar kota, survei lokasi, dan turut dalam pengambilan gambar. Sebagai art director atau pengarah artistik dia bertanggung jawab supaya proses penerjemahan ide berjalan baik. Eksekusi tidak melenceng dari ide awal.

Bila sedang tidak ada tenggat ketat, dia tetap melakukan lembur; membaca di perpustakaan kantor, membuka arsip mengenai pariwara yang berhasil memenangkan penghargaan di berbagai festival. Atau, sekadar menonton film hiburan. Atau, di kafe bersama teman-temannya yang lain hingga dini hari saat akhir pekan.

Tahun ketiga dia menjalin hubungan serius dengan seorang penyanyi jaz. Awalnya berjalan baik. Namun, setahun kemudian kandas di tengah jalan. Timur terlalu mencintai pekerjaannya, keluh si mantan pacar. Padahal, bukan itu alasan sebenarnya, tapi Timur diam saja tidak menjelaskan.

Tahun keempat Timur kembali sendiri. Dia lagi-lagi menenggelamkan diri dalam kesibukan di kantor yang seperti tidak ada habisnya.

Sebulan pertama pada tahun kelima, Timur mulai menajamkan pendengaran, mencari sebuah tawa. Dia melakukan dengan halus, tidak mencolok, dan berhati-hati. Dia hanya menegakkan tubuh dan diam. Kadang memejamkan mata untuk beberapa detik. Kalau ada yang bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan?”, Timur akan menjawab, “Sebuah ide melintas.” Lalu, dia akan menulis poin-poin rekaan dalam notes. Teman-temannya akan paham dan mengerti dengan alasan ini.

Sampai penghabisan bulan kedua tidak ada yang bisa ditemukan. Timur hanya mendengar tawa dari orang-orang yang tidak dikenal. Serak dan berat dari bapak-bapak gemuk dan perokok. Melengking diselingi erangan kemayu dari seorang perempuan bersepatu jinjit sepuluh senti. Tawa terbahak dilanjut kalimat-kalimat ledekan riuh dari sekumpulan remaja SMA, dan yang lain. Perlahan Timur mulai lupa. Masuk bulan ketiga dia lupa sama sekali. Hingga barusan, Timur mendengar suara tawa dari seseorang yang dia kenal.

“Tidak ada yang tahu bagaimana cara kenangan bekerja. Keluar-masuk ingatan seenaknya sendiri.”

Suara petugas stasiun kereta mengucapkan selamat datang dalam suara berkeresek karena kualitas mikrofon jelek. Suara orang-orang yang terburu-buru masuk ke peron bagian dalam. Suara dentang bel khas stasiun kereta.

Laki-laki itu bahkan masih bisa membayangkan kesibukan di stasiun kereta sewaktu kalimat mengenai kenangan dikatakan.

“Ck.” Timur menggeleng. Sekian dulu mengenai perihal tawa misterius dan kenangan-kenangan yang kembali berputar. Dia harus kembali fokus bekerja.

Sore hari selesai rapat dia melanjutkan pencarian. Dia membuka halaman jurnal online milik seorang perempuan pada masa lalu. Dia masih hafal alamatnya tanpa perlu mencari di mesin pencari. Catatan perjalanan terakhir ditulis setahun lalu. Tulisan pendek. Hanya dua paragraf. Tentang kemampuan artikulatif bagi seniman.

Di halaman lain Timur membaca sepintas kilas reportase ringan mengenai pameran seni rupa yang dilaksanakan di sepanjang Jalan Malioboro. Perempuan itu berfoto di sebelah seorang laki-laki. Di belakang mereka ada instalasi karya Wisnu, si seniman laki-laki yang berdiri di sebelah si perempuan, berupa patung dalam figur wanita penuh kerut di wajah. Saat itu siang hari.

Ada satu lagi unggahan foto, semacam festival pameran seni di Beijing. Beberapa foto diambil dari lokasi yang berbeda-beda.

Timur terus membuka halaman lain. Hingga pada pukul lima sore, Timur melakukan panggilan telepon.

“Ya. Aggi bekerja di sini. Apa Anda ingin mengajukan proposal mengadakan pame—oh. Oh, ya. Saya mengerti …. Timur. Oh. Oh, ya. Dia baik-baik saja. Timur? Timur. Hmmm … dia tidak pernah menyebut-nyebut nama dan atau cerita tentang seseorang bernama Timur .… Sepertinya ada hal besar. Ada yang bisa kubantu?”

Tidak ada tanggal pasti yang disepakati. Perhitungan hanya berdasar tahun. 2007 ditambah 5 sama dengan 2012. Minggu pertama bulan empat, saat jam lembur usai, secara tiba-tiba Timur memutuskan akan pergi ke Yogyakarta.

“Kamu ikut pergi ke lokasi besok Minggu?” tanya Peter, temannya, si creative director yang sudah mencangklong tas siap pulang.

“Tidak.” Timur memutar kursi dan mendongak. “Lagi pula, aku tidak ambil bagian dalam proyek itu.”

“Ada urusan?”

“Ya. Sedikit urusan. Sabtu malam aku berangkat ke Yogyakarta. Minggu di sana. Senin sudah tiba di sini lagi.”

“Kakak perempuanmu baru saja melahirkan? Atau, salah satu keponakanmu berulang tahun?”

“Mereka tinggal di Jakarta.”

“Iya, aku tahu. Aku hanya bercanda.” Peter melihat jam di pergelangan tangan. Hampir pukul sepuluh. “Yogyakarta. Ada urusan apa di sana?”

“Cinta.”

Peter diam sebentar. Lalu, mengerutkan kening. “Kamu serius?”

“Serius.”

“Kamu akan melakukan riset untuk proyek baru?”

“Tidak juga.”

“Produk?”

“Stroberi.” Timur berpikir sebentar sebelum melanjutkan. “Es krim stroberi. Makaroni stroberi. Segala hal yang berhubungan dengan stroberi.”

“Banyak sekali. Tidak ada produk spesifik, eh?”

“Aku masih mencari tahu.”

“Lalu, hubungan stroberi dengan cinta?”

“Ada kaitannya dengan masa lalu.” Kali ini Timur bicara benar, tidak mengarang-ngarang seperti yang sebelumnya.

“Kamu bersungguh-sungguh dengan ini?”

Timur diam sebentar lalu tertawa. “Sebenarnya, aku ada janji dengan seseorang.”

“Klien.”

“Bisa dibilang begitu. Tapi, tidak juga.”

“Ya.” Peter mencoba menyimpulkan. “Ini ada urusannya dengan cinta. Jadi, klien perempuan. Perempuan yang dulu, ah, maksudku, klien lama atau baru? Jadi, dia pindah ke Yogyakarta? Begitu.”

“Sudah dari dulu dia tinggal di Yogyakarta.”

Peter mengerutkan kening, berpikir. “Ah, pantas kalau begitu karena baru kemarin aku masih melihatnya bekerja di toko buku. Atau, ini perempuan yang terakhir? Yang masih giat mengejarmu itu. Ah, Timur, kalian mengadakan pertemuan rahasia. Atau, orang yang berbeda sama sekali?”

“Aku harus kembali bekerja.” Timur menghindari rentetan pertanyaan dengan kembali sibuk memelototi pekerjaannya.

“Baiklah, Pak. Kamu sibuk saja lembur di kantor. Aku akan segera pulang menemui istriku yang cantik di rumah,” ledek Peter.

Keesokan harinya, Timur pergi ke toko buku kecil di sudut jalan saat istirahat makan siang. Tidak begitu jauh dari kantor. Di dalam sedang tidak ramai pengunjung.

Mata Timur menelusur cepat. Dia menarik satu buku dari rak, membaca ringkasan di halaman belakang. Ternyata tidak cocok, lalu dikembalikan. Begitu terus sampai dia berhenti pada buku bersampul hitam. Kisah Mata karya Seno Gumira Ajidarma. Buku lama. Disusun dari sebuah tesis yang “dipopulerkan” demi kepentingan pembaca “umum”. Di sini Seno mengangkat tema perbincangan mengenai “ADA” melalui pendekatan fotografi. Timur membuka halaman-halamannya.

"Para fotografer membagi pandangan, tetapi yang memandang fotonya ternyata buta meskipun mempunyai mata. Keajaiban dunia adalah suatu ironi, di depan kemanusiaan yang terluka, manusia tertawa-tawa."

Timur berpikir cepat sambil menimang buku itu. Tak lama dia sudah membawa buku itu ke kasir dan membayarnya.

“Hai,” sapa Timur. Karena dia sering ke toko buku itu, mau tidak mau si kasir menjadi hafal kepadanya.

“Pilihan yang bagus,” kata si kasir. Dia menempelkan kode bar pada lampu merah di dekat meja pembayaran. Terdengar bunyi berdetik pelan. “Untuk kepentingan pekerjaan baru?”

Lihat selengkapnya