Hidup berkecimpung di lingkungan seni dan para pelaku seni seperti tinggal dalam ketidakpastian. Ketidakpastian ide: ide awal yang kemudian bertumbuh kadang menjelma dalam perwujudan yang berbeda sama sekali. Ketidakpastian uang—katanya, kebanyakan seniman lebih sering bokek ketimbang punya uang—tapi, Yogyakarta adalah kota yang perihal besarnya bukan tentang uang, itu sebabnya para pelaku seni tumbuh subur di sini. Ketidakpastian tempat tinggal: perupa tinggal berbulan-bulan di studio demi menyelesaikan pekerjaan, menghabiskan waktu di kafe 24 jam mengejar tenggat tulisan, atau “menggelandang” dengan perencanaan ke tempat yang mereka anggap sumber inspirasi; tinggal di sana, menghayati segalanya, kemudian merenung untuk dikaji ulang dan merekreasi perihal-perihal yang ditemui, dalam ketidakpastian waktu. Hal yang pasti hanyalah tenggat ketat yang diberikan oleh sponsor.
Aggi masuk dalam dunia ini karena menerima tawaran sebagai semacam kurator junior (Aggi lebih suka menyebutnya dengan istilah magang). Bermula dari pameran fotografinya yang berjalan lancar pada 2006. Bukan pameran tunggal, dia bersama dua orang temannya. Tema utama pameran fotografi mereka: Human Expression. Mereka membagi tiga blok pameran—hasil jepretan fotografer dipamerkan dalam kelompok tersendiri, tidak dicampur. Semuanya berjalan lancar. Komentar manis dan menyenangkan bertebaran di buku tamu dan dari teman-teman yang mengatakan secara langsung. Hingga Mbak Anita, salah seorang dosen muda yang pernah mengajar Aggi di kampus dulu, pada suatu siang senggang meminta bertemu.
“Karyamu bagus. Bisa kamu jelaskan mengenai tema pameranmu?”
“Human Expression.”
“Maksudku subtema. Tema personal yang kamu angkat dalam karyamu sendiri. Coba jelaskan kepadaku tentang apa yang ingin kamu sampaikan pada pameranmu kali ini.”
Mbak Anita lalu menjelaskan, dalam karya bersama, kemenonjolan karya individu tetap penting. Bahkan, paling penting. Baru setelah itu tercapai, ketiga karya dari kumpulan pekerjaan personal itu bisa berkesinambungan mewujudkan satu tema besar.
“Candid ... human expression. Tema besar milikku.”
“Ya. Fokus sebagian besar fotomu memang mengambil tema candid. Sepertinya itu kesukaanmu. Aku bisa merasakan ketulusan sebagian besar ekspresi para model di sana. Kamu menggunakan kamera analog, bukan? Tidak boleh sembarangan menjepret. Benar-benar pengamat bermata jeli.”
Sejak mendapat pujian itu Aggi memutuskan untuk mengambil spesialisasi foto analog. Berbiaya agak mahal sebenarnya karena ada biaya untuk membeli bergulung-gulung rol film dan ongkos cetak yang tentu tidak sedikit. Namun, sejak awal belajar memotret, ayahnya sudah mengajarkan cara “menghemat”. Caranya yaitu dengan menajamkan ide, sampai benar-benar padat dan tidak tumpul sehingga dia akan memiliki koridor atau panduan ketika hendak membidik. Ini sengaja. Koridor ide yang sengaja dibuat sempit, selain hemat, juga melatih Aggi berpikir fokus. Dan, mampu melihat poin utama bidikan.
“Ada beberapa yang diambil dalam jarak panjang. Kamu memanfaatkan gesture model sebagai potret naratif candid. Bagus. Kamu tidak memiliki masalah dengan itu.”
Aggi merasa sepotong kue stroberi yang dipesan di kafe di galeri milik Mbak Anita ini manis sekali. Mungkin karena kuenya memang manis. Atau, karena pujian barusan.
“Aku tertarik dengan kemampuanmu. Bekerjalah untukku,” lanjut Mbak Anita. “Kamu bisa belajar banyak dari para seniman yang nanti kamu temui. Tentang cara menghasilkan kedalaman dari suatu karya, cara mengartikulasikan ide dengan baik. Dan, masih banyak yang lain.”
Aggi akan menjadi asisten di galeri seni milik Mbak Anita yang baru berjalan setahun menjelang dua. Aggi akan mendampingi seniman selama dalam proses kreatif. Selama membantu, Aggi harus memosisikan dirinya sebagai asisten yang aktif. Dalam artian tidak sekadar wira-wiri mengurusi, dia juga harus aktif dan rajin mencatat segala temuan; misalnya, bagaimana menjadi jelas dalam memetakan dan memaparkan gagasan konseptual yang kuat dalam karya.
Ini tahun kelima Aggi bekerja di galeri seni milik Mbak Anita. Seperti paham yang beredar di dunia kepenulisan, pada waktu yang bersamaan editor (kadang) tidak bisa menjadi penulis yang baik. Aggi juga mengalami hal tersebut. Dia seorang editor (meski baru tahap belajar) yang tidak bisa sekaligus menjadi pelaku seni yang baik. Rencana mengadakan pameran fotografi tunggalnya selalu tertunda. Karena pertama, kesibukan. Memang akhirnya dia mengerti cara memetakan ide dan mengartikulasikannya dengan baik dalam penjabaran dan wujud karya. Dia masih sering memotret. Namun, yang kedua, sejauh ini kegiatan tersebut dilakukan hanya sebagai kesenangan. Tanpa tekanan target tertentu.
“Kapan kamu menggelar pameran sendiri?” tanya Mbak Anita.
“Tidak dalam waktu dekat ini. Tapi, suatu saat aku pasti akan mengadakan pameran fotografi. Dengan tema tertentu. Spesial dan lebih personal. Sekarang aku belum tahu apa. Tapi, nanti pasti.” Kalimat itu bukan apologi. Aggi telah memiliki sedikit bayangan, tapi belum begitu jelas. Masih samar.
“Jangan sampai proses sampinganmu menghalangi tujuan utama.”
Kembali bicara tentang ketidakpastian bila dikaitkan dengan Timur. Aggi pikir mengapa dia tidak mencoba mengambil dan melakoni perjanjian itu? Dia hanya menyediakan waktu setiap akhir pekan untuk bercerita. Mungkin hubungan ini akan kembali berlanjut dan berjalan lancar. Mungkin juga tidak. Jadi, dia menunggu Kamis dengan perasaan biasa.
Senin dia bertemu dengan sekelompok seniman. Mereka terdiri atas seorang penari, perupa, dan pelukis. Mereka ingin menggabungkan pameran lukisan dan rupa dengan sebuah pertunjukan tari kontemporer pada malam pembukaan. Mereka ingin memadukan lukisan dan hasta kriya yang berkarakter maskulin dengan tarian yang akan dibawakan begitu lembut dan begitu feminin. Mereka membicarakan kemungkinan waktu untuk pameran dan luas ruangan—kemudahan bagi si penari untuk berganti kostum dan juga meletakkan properti.
Selasa minggu kedua bulan ini Aggi harus menyusun dan merekap ulang arsip. Dia juga mengecek segala dokumentasi acara yang pernah dilaksanakan di galerinya. Foto, video, dan berkas. Saat istirahat siang dia memilih mendekam di perpustakaan. Sedang tidak lapar. Dan, ada utang bacaan yang harus diselesaikan. Entah bagaimana salah seorang seniman yang iseng mampir ke kafe tiba-tiba menemuinya. Perpustakaan galeri memang dibuka untuk umum. Laki-laki menaksir Aggi sejak kali pertama mereka bertemu di acara pameran. Orang-orang kantor dan kafe sudah tahu itu.
“Aku mendengar suara berisik di sudut lemari. Aku kira tikus. Ternyata kamu.”
Aggi mendongak. Dia tidak suka scarf warna-warni pelangi yang melilit leher laki-laki itu. Pilihan warnanya terlalu norak. Apalagi, pilihan celana panjang kain hitam. Terkesan terlalu formal dan bapak-bapak. Membosankan. Dan, kopiah yang dikenakannya sebagai pengganti topi. Meski laki-laki itu pernah menjelaskan, “Aku ingin melawan tipikal seniman yang cenderung mengenakan celana jin belel atau berlepotan cat. Celana kain warna kusam ini akan baik bila dipadupadankan dengan kemeja Korpri biru. Seperti pegawai negeri sipil zaman dahulu itu. Hanya sayang, aku sulit mendapatkan kemejanya. Ada di awul-awul [jual pakaian bekas atau tidak lolos impor] semestinya. Aku akan mengeceknya ke sana kapan-kapan. Kamu mau menemani?” tanyanya. Waktu itu Aggi serta-merta menggeleng. Selera pribadi laki-laki itu aneh. Aggi merasa tidak cocok. Namun, dia tetap menjaga sikap baik.
“Padahal, aku diam saja dari tadi.”
“Oh.” Laki-laki itu membenahi letak scarf yang jatuh menggelambir di sisi bahu kiri. “Kalau begitu, kamu pasti mau menemaniku minum secangkir cokelat panas di kafe sebelah.” Laki-laki itu berlari pergi, menengok ke luar—berlagak mengecek keadaan kafe—lalu kembali lagi menemui Aggi. Suaranya berbisik, seakan tidak ingin orang lain mendengarkan percakapan mereka. “Sepi. Ayo, ayo. Kita ke sana sekarang. Aku akan mentraktirmu.”
Aggi mengangkat buku tebalnya. “Lihat, masih banyak halaman yang harus kuselesaikan.”
“Kamu bisa melanjutkan membaca di sana. Emmm ....” Laki-laki itu meletakkan jari telunjuk di bibir, berpikir. “Sementara kamu diam membaca, aku akan membuat sketsa wajahmu yang memesona itu. Bagaimana? Hasilnya nanti untukmu.”
Aggi menggeleng sambil tersenyum.
“Ayolaaah ..., sekali saja, Aggi,” bujuk laki-laki itu.
Aggi tetap menggeleng, si seniman berkopiah itu terus membujuk. Beruntung, tak lama terdengar seseorang memanggil-manggil laki-laki itu. Pesanan minumannya sudah datang. Laki-laki itu kembali lagi menemui Aggi sebelum keluar. “Kamu berutang satu sesi minum wedang ronde denganku.”
Berutang? Enak saja!
Aggi melambaikan tangan dan mengucap, “Dah!”
Aggi mendatangi sebuah bedah buku mengenai seni visual kontemporer dalam pandangan filsafat di Bentara Budaya pada Rabu, dari pukul sembilan hingga pukul dua belas siang. Setelah istirahat siang, dia kembali ke kantor. Dia melakukan korespondensi dengan teman seprofesi yang bekerja di galeri seni di luar negeri. Dia mendekam di dalam kantor dan menghadap layar komputer sampai waktu jam pulang kantor.
Aggi mengurus katalog pertunjukan di percetakan Kamis pagi. Mengurus detail pesanan dan memastikan tanggal jadi. Sorenya dia menemani Sinta, menerima dan menyimpan kiriman lukisan yang akan dipamerkan minggu depan. Malamnya dia dan rekannya makan malam bersama si seniman. Bercakap ulang mengenai ide yang akan diangkat dalam pameran.
Jumat pagi hujan turun deras. Aggi tiba di kantor dalam keadaan basah kuyup. Flunya yang sudah mendingan kembali menghadirkan bersin-bersin hebat. Dia minum segelas jeruk panas dan tidak ke mana-mana. Hanya di kantor menghadap komputer.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya salah seorang rekan perempuan.
“Bermain soliter.”
Mereka tertawa. Tentu saja tidak bermain soliter.
“Eh, Mbak Sinta.” Aggi memutar kursi menghadap rekan kerjanya. “Berikan pendapatmu. Misal, kamu punya mantan pacar. Kalian telah berpisah lima tahun lamanya. Tiba-tiba dia kembali, ingin mencoba lagi memperbaiki hubungan kalian.”
“Berbalikan dengan mantan kekasih bagaikan menjilat liur yang sudah diludahkan.”
“Mbak, kamu jorok sekali!” Aggi melempar tisu bersih ke arah Sinta. Tapi, dia berkata pelan, “Aduh, itu ada ingusnya.” Saat Sinta mengomel kecil Aggi tertawa.
“Apa alasannya mengajak berbalikan?” tanya Sinta.
“Hmmm ....” Aggi ingat panggilan telepon itu. “Bagaimana kalau seperti ini,” Aggi berkata setengah tidak yakin, “dia memiliki seorang mantan yang masih mengejar-ngejarnya. Dengan berbalikan dengan mantan yang pertama, dia berharap bisa lepas dari kejaran mantan kedua.”
“Wow. Permasalahan seorang dai yang diangkat dalam berita selebritas berkisar mengenai istri pertama dan kedua. Permasalahan anak muda sekarang tentang mantan pertama dan kedua.” Sinta tertawa. “Dangkal. Berbalikan dengan mantan demi menghindari mantan.”
“Itu tadi hanya berandai-andai.”
“Ya. Dan, itu jawabanku; dangkal.”
“Apa yang harus dilakukan kalau begitu?”
“Kamu sudah terlalu tua untuk bertanya begitu!” seru Sinta.
“Biar saja! Bagaimana?”
“Abaikan. Apa yang bisa diharapkan dari laki-laki seperti itu? Dia bahkan tidak memiliki kegiatan lain yang lebih bermanfaat sebagai alasan mendepak pergi mantan yang mengejar-ngejar. ”
Aggi menggeleng tidak mengerti.
“Laki-laki sibuk tentu punya sejuta alasan menghindari mantan! Dan, tidak mengejar-ngejar mantannya yang lain!”
“Dia bekerja sebagai direktur—ah, pengarah artistik di biro iklan.”
“Berarti dia orang sibuk?”
“Ya.”
“Nah.” Sinta terlihat mulai paham. Ini bukan tentang pertanyaan biasa dan masalah orang lain. “Jadi, ini pertanyaan tentang dirimu, ya?”
Aggi menarik tisu dan membersihkan hidungnya. “Kurang lebih. Bagaimana, Mbak? Baiklah. Diabaikan.”
Lama tidak ada jawaban, Aggi memutar kursi ke arah semula.
“Hidupmu belum membosankan.” Tiba-tiba Sinta kembali bersuara. “Kamu masih muda. Ya, seniman memang akan selalu merasa muda—aku tidak sedang bicara itu. Kamu masih muda. Baru lima tahun bekerja di sini. Begini. Ketika kamu sudah bekerja lima belas, dua puluh, atau empat puluh tahun di dunia yang sama, semakin menua, bertemu dengan tipikal karakter yang begitu-begitu saja, ada kemungkinan hidupmu akan menjadi membosankan.”
“Apa iya?”
“Tentu! Apa kamu lupa pelajaran Biologi zaman SMP? Fenotipe sama dengan genotipe ditambah lingkungan.”
“Aku tidak melihat hubungan antara fenotipe dengan masalahku.”
“Maksudku, ambil saja kesempatan itu! Tidak ada salahnya!”
Ya. Aggi mendapatkan dukungan sesuai dengan keputusan awal. Tentang ketidakpastian bila dikaitkan dengan Timur; mengapa tidak dia mencoba mengambil dan melakoni perjanjian itu?
Aggi mengambil ponsel. Tangannya berhenti saat berhenti pada nama dan nomor Timur. Sekarang sudah Jumat. Dia berjanji akan menghubunginya pada Kamis sore.
“Tunggu apa lagi?” Ternyata Sinta memperhatikan temannya. Meski serius, tampangnya terlihat sekali penasaran. Penasaran yang lebih ke arah ingin tahu.
Sudah terlambat. Kalau dia tetap menelepon sekarang, akan menimbulkan kesan Aggi begitu mengharapkan laki-laki itu. Namun, apa jadinya kalau minggu ini dia tidak menghubungi Timur? Apa laki-laki itu menjadi tidak percaya kepadanya? Kemudian, menyerah? Dan, menolak dengan tidak memenuhi ajakan ketemuan minggu depan?
“Kesempatan tidak datang dua kali. Telepon dia sekarang!”
“Aku bukan penyetuju paham ‘kesempatan tidak datang dua kali’.” Aggi menoleh. “Kalau dia pergi, aku bisa menciptakan kesempatan yang lain. Sendiri. Lebih bagus malah.”
Sinta mengangkat bahu. “Aku tahu. Aku tahu.”
Kalau Timur tidak memenuhi undangannya minggu depan atau waktu berikutnya ... mudah saja untuk diartikan. Kesungguhan laki-laki itu hanya pura-pura. Aggi kembali meletakkan ponsel dan menghadap monitor. Namun, sebentar kemudian dia menengok karena merasa risi. Dia menatap Sinta dengan heran. “Kenapa, Mbak? Ada yang aneh?”
“Tidak.” Sinta segera memasang ekspresi tenang. “Hanya kabari aku bagaimana kelanjutan cerita tentang si mantanmu yang mengejar mantan ini demi menghindari mantan itu. Mantannya mantan mengejar mantannya sehingga membuat mantan itu mengejar kembali mantannya.”
“Mantan itu manusia tanpa jabatan. Begitu formal. Kurasa istilah mantan perlu direvisi untuk dikenakan dalam sebuah relasi.” Aggi berbicara kepada dirinya sendiri. “Karena, saat berpisah saja dibilang ‘putus’, bukan ‘pecat’.”
“Serius betul.”
“Biar saja.”
“Aku pecat kamu jadi pacarku!” seru Sinta berpura-pura sedang bicara dengan seorang laki-laki di hadapannya. Mereka berdua tertawa.
Hari Sabtu Aggi melakukan pekerjaan seperti biasa. Hari Minggu dia tetap pergi ke galeri. Si laki-laki seniman, kali ini scarf-nya berwarna oranye dengan celana panjang kain cokelat model baggy, mendekatinya.
“Semalam aku memimpikanmu, Aggi. Ternyata itu ilham. Saat aku datang untuk menyaksikan pameran hari ini, aku bertemu dengan dirimu.”
“Aku sedang bertugas.” Aggi menjawab dari balik meja penerima tamu sambil tersenyum.
“Malam nanti mau makan malam bakmi Jawa? Pele. Selatan alun-alun utara.”
“Diet,” jawab Aggi dengan berbisik, seakan-akan sedang membagi rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain. Lalu, dia memutuskan pergi. Masuk ke kantor dengan alasan daftar inventaris lukisan tertinggal. Padahal, setumpuk kertas itu ada dalam genggamannya.
Aggi bisa mengabaikan hal-hal yang tidak ada dalam daftar prioritas. Misalnya, membeli sepatu baru, kemeja baru, diskonan buku, pertunjukan teater anak SMA atau mahasiswa semester awal di Taman Budaya, atau menghubungi Timur. Namun, ini sudah Senin minggu kedua. Dia berharap Kamis segera tiba.