Ardian membuka pintu depan dengan sedikit susah payah. Engselnya berderit panjang, seperti mengeluh karena dibangunkan dari tidur puluhan tahun. Begitu mereka melangkah masuk, udara di dalam terasa berbeda—dingin, lembap, dan… hening sekali.
“Rumah ini kayaknya butuh dibersihin banget,” kata Maya sambil menaruh Celine di sofa usang yang sudah ada di ruang tengah.
Ardian hanya mengangguk, tapi matanya sempat menyapu sudut-sudut gelap rumah. Dia tak mengerti kenapa bulu kuduknya meremang.
Keharusan pindah ke daerah ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Ardian mendapat tugas baru sebagai peneliti pertanian di daerah tersebut, sebuah pekerjaan yang menuntutnya mendalami kondisi lahan dan sistem pertanian lokal demi proyek pengembangan yang sedang berjalan. Penempatan tugas ini membuat mereka harus meninggalkan kota dan rumah lama demi memulai hidup baru di tempat yang asing.
Mereka mulai beres-beres dengan penuh tenaga. Ardian mengangkat papan kayu lapuk dari lantai atas, debu beterbangan memenuhi ruangan, membuat Maya mengerutkan hidungnya. Maya menyapu lantai dengan sapu yang sudah usang, membersihkan daun-daun kering dan serpihan kaca yang berserakan. Celine yang baru berusia dua tahun, duduk di sudut ruangan sambil bermain dengan sebatang kayu kecil yang ditemukan di halaman, sesekali menatap mereka sambil tertawa kecil.
Di dapur, Ardian membersihkan perabotan karatan dengan kain basah, sementara Maya mengelap jendela yang berjamur dan retak. Suara ketukan palu dan gesekan sapu memenuhi rumah tua itu, tapi tetap ada kesunyian yang terasa menekan.