The Symphonies

Ratu Bidak
Chapter #7

Chapter 6

“Don’t you be so nice to me; I fall in love so easily.”

Waylon Jennings

*****

Rian menunjukkan sebuah gantungan kunci berbentuk bulan sabit di hadapan wajahku persis. Aku mengernyit bingung, melirik ke arahnya sekilas.

Dia mengangguk, “Buat elo,” ucapnya, seakan mengerti apa yang tengah kupikirkan.

Aku meraih gantungan kunci yang ia sodorkan. Masih menatap tak mengerti pada benda yang ia berikan untukku. “Kenapa lo ngasih ini?” tanyaku, mengamati bulan sabit yang berwarna silver itu.

“Terima aja. Susah amat bilang makasih,” celetuk Maysa tiba-tiba, menengahi pembicaraanku dengan Rian.

Aku menatap sengit ke arahnya. Gadis itu bersiul santai, sembari memainkan ponselnya tanpa merasa dirinya mengganggu siapapun. Rian terkekeh pelan melihat reaksiku.

“Maaf ya. Gue nggak nemuin lo hampir seminggu. Padahal gue bilangnya cuma hari Sabtu sama Jumat sore,” lelaki itu menggaruk tengkuknya gugup.

Aku mengerjapkan mata, tak percaya. Padahal gue seneng banget 5 hari dia nggak ke sini, batinku. Maysa mengangkat alisnya dan tersenyum miring, melirikku sesekali, seolah menggodaku untuk membalas ucapan Rian.

Helaan napasku terdengar kesal. “Gue nggak apa-apa kok. Lo ngapain emang? Sibuk ya?” ucapku datar, seraya memasukkan gantungan kunci yang ia berikan ke dalam laci.

Rian menatapku lekat-lekat, “Lo … lo sekarang lagi peduli sama gue?” tanyanya, menyiratkan sebuah keharuan dan rasa tak percaya.

Aku terdiam selang beberapa saat. “Nggak,” jawabku akhirnya, memilih untuk tidak menutupi kenyataan bahwa aku memang tidak peduli padanya, “gue cuma pengen tau. Kalau lo nggak mau ngasih tau juga nggak apa,” lanjutku.

“Oh,” ujarnya dengan nada kecewa, namun sedetik kemudian memasang senyum jahilnya kembali. “Gue ada urusan keluarga hari Sabtu-Minggu. Terus Senin sampai Kamis-nya, gue ada urusan sama Vano, sekalian nyari gelang lo—”

Plak!

Buku tulis yang sedang ada di atas mejaku menjadi tumbal yang kukorbankan untuk memukul wajah lelaki di hadapanku. Maysa yang memang dari tadi mendengarkan pembicaraanku dengannya, menoleh ke arahku. Gawat.

“Gelang?” tanyanya, bingung.

Aku menggeleng, “Nggak. Dia ngaco barusan,” balasku meringis, berusaha meyakinkanya. Maysa malah mengernyitkan keningnya, menatapku curiga.

“Lo nggak cerita bagian itu ke gue,” ujarnya, mendelik tak suka padaku.

“Gelang yang selalu lo pake itu ‘kan?  Yang nggak pernah lo ceritain itu, heh?” tanyanya bertubi-tubi, “Kualat lo, nggak pernah mau ngasih tau gue, sih,” tambahnya, seraya meleletkan lidahnya, mengejekku.

Aku mendengus sebal, “Diem lo. Itu nggak ada hubungannya sama hilangnya gelang gue,” jawabku ketus.

Maysa mengedikkan bahu, “Terserah deh. Untung gue nggak terlalu peduli sama gelang lo,” balasnya, ikut mendengus sebal.

“Anu, Han. Bukunya—”

Aku memperhatikan Rian yang wajahnya masih kututupi dengan buku tulisku. Tanpa perlu pikir panjang lagi, aku buru-buru berdiri dan bergegas keluar dari kelas dengan menarik lengan baju lelaki itu.

Aku menurunkan buku tulisku yang menutupi wajahnya. “Lo nggak usah cerita-cerita gelang gue ke Maysa,” ucapku cepat begitu keluar dari kelas.

Satu tanganku yang lain menggenggam lengan bajunya kuat, memperlihatkan bahwa aku benar-benar serius mengenai masalah ini.

Rian hanya memasang senyum sebagai jawaban, membuatku merasa tidak yakin sepenuhnya. Aku mencubit lengannya dan ikut tersenyum dengan senyuman mengancam, “Ya?” ujarku memastikan dengan nada sebal.

“I-iya, gue nggak cerita. Beneran. Janji,” sahutnya buru-buru, sembari berusaha menepis tanganku yang sedang mencubiti lengannya.

Aku menghela napas dan melepaskan cubitan di lengannya. “Ya udah, sana balik ke sekolah lo. Jangan kelamaan di sini,” usirku, seraya menyilangkan tangan di depan dada.

“Sebentar. Gue masih kangen,” gumamnya pelan yang masih bisa didengar olehku. Suaranya terdengar begitu lembut hingga tanpa sadar aku menahan napasku. A-apa ini? Kenapa jantung gue malah deg-degan kayak gini? batinku gugup.

Hawa panas seakan menerpa wajahku seketika.

Tanganku sontak mengepal kencang dan melayangkan sebuah pukulan kuat pada perut lelaki itu. Aku tidak bisa mengontrol seberapa banyak kekuatan yang aku keluarkan dalam pukulanku. Alhasil, aku bisa melihat Rian yang berjongkok dengan wajah tertunduk, sedang mengaduh kesakitan.

Astaga. Aku ini masih tetap seorang gadis biasa. Mana mungkin aku tidak tersipu dengan kata-kata yang diucapkan dengan nada lembut dan penuh makna seperti itu. Dasar, Rian sialan! umpatku dalam hati.

“Balik sekarang atau gue nggak mau liat muka busuk lo lagi. Selamanya.” Aku memaksakan nada dingin dalam suaraku untuk menyembunyikan rasa maluku saat ini.

Rian merintih pelan, menahan rasa sakit pada perutnya. “Galak banget. Untung gue-nya suka,” gerutunya samar-samar.

Aku menatapnya nyalang dan memukul kepalanya dengan buku tulis yang masih kubawa. “Lo ngomong apa barusan?! Coba ulangi. Nggak denger gue,” bentakku galak padanya. Rian kembali berdiri dan balas menatapku.

Bunyi bel masuk yang menandakan berakhirnya jam istirahat berdentang nyaring. Aku masih menatap tajam lelaki itu, menantikan ucapan yang akan ia keluarkan untuk membalas perkataanku.

Rian memasang senyum jahil khasnya. “Nanti gue jemput. Balik dulu ya … sa~yang,” dia meringis dan menepuk kepalaku cepat, lantas pergi meninggalkanku yang masih terdiam mematung.

Aku memegangi kedua pipiku, seakan hendak berusaha menahan semburat yang menyebar di wajahku. Tunggu … apa yang baru saja terjadi? S-sayang katanya? Apa dia itu tidak mempunyai rasa malu sedikitpun?

“Oi. Lo ngapain masang muka malu-malu gitu?”

Aku terperanjat dan sontak menoleh pada sesosok di dekat bahu kananku. Sejak kapan dia ada di sebelahku? Gadis tomboi itu memiringkan kepalanya sembari terus memperhatikanku.

“Lo sendiri ngapain keluar kelas?” Aku balas bertanya dan kembali memasang raut datar.

Maysa berdecak pelan, “Udah pikun ya lo. Habis ini pelajaran olahraga. Lo nggak mau ganti baju? Bareng sama gue nih.”

Aku merutuki diriku sendiri. Bagaimana bisa aku melupakan jadwal hari ini hanya karena ucapan Rian? Seharusnya aku tidak boleh terlena dengan semua kelakuan manisnya.

“Lo mau ikut nggak?” tawarnya.

Aku mengangguk pelan dan menurunkan kedua tanganku, “Ikut.”

*****

TAK!

Lagi-lagi sebuah pukulan kuat yang membuat bola melambung di udara. Aku mendecih pelan. Jika hal ini terus berlanjut, poin kelompokku akan terus tertinggal.

Maysa menepuk pundakku kencang. “Jangan ngelamun. Siapa yang tadi bikin kita nyampe pergantian tempat, hah?”

Lihat selengkapnya